欢迎..............欢迎..............欢迎


Rabu, 18 Mei 2011

SIMPUL-TALI UNTUK HARI ISTIMEWA



Sejarah simpul-tali China (zhong guo jie) membentang melalui perkembangan 5.000 tahun peradaban China. Pada masa prasejarah, simpul-tali sudah dipakai untuk tujuan penandaan sesuatu.

Kebudayaan China membahas perihal:

– Tali yang ditarik simpul dengan tujuan untuk memberi tanda pada suatu hal, dan

– Untuk kejadian besar dibuatkan simpul besar dan untuk kejadian kecil dibuatkan simpul kecil.

Pada masa awal peradaban kebudayaan China, mereka juga memandang magis pada tali, karena kata tali (sheng, 繩) di dalam bahasa mandarin pengucapannya mirip kata Shen yang berarti ketuhanan. Selain itu, aksara tali (sheng, 繩) juga memiliki sebuah makna tersendiri dalam hal pemujaan orang Tionghoa, yang disebut juga sebagai rakyat sang naga, karena aksara tali (sheng, 繩) menyerupai seekor naga (long, 龍) yang bergerak meliuk-liuk.

Simpul-tali menerima sebuah makna metafor di dalam kebudayaan Tionghoa juga berkat linguistik asalnya. Aksara 結 (jie - simpul) asalnya terdiri dari 絲 (si) dan 吉 (ji), dimana 絲 (si) bermakna sutera atau tali, dan 吉 (ji) bermakna makmur, status sosial tinggi, panjang usia, kebahagiaan, kekayaan, kesehatan dan keamanan.

Aksara 結 (jie) melambangkan kekuatan, harmoni dan keterikatan perasaan kemanusiaan, yang direfleksikan di dalam sebuah deretan kata-kata bahasa mandarin yang mengandung kata 結 (jie), seperti misalnya 結實 (jie shi = kokoh), 結交 (jie jiao = mengikat persahabatan), 結緣 (jie yuan = merajut takdir pertemuan), 結婚 (jie hun = menikah), 團結 (tuan jie = bersatu-padu).

Sehubungan dengan keterkaitan yang mendalam dari simpul-tali China ini dengan kebudayaan lokal, teknik simpul tersebut sebagai kesenian rakyat senantiasa dikembangkan dan diwariskan turun temurun. Teknik simpul-tali China berkembang ke sebuah bentuk seni sesungguhnya selama Dinasti Tang (618-907), Song (960-1279) dan akhirnya mengalami masa paling jaya pada zaman Dinasti Ming dan Qing (1368-1911) – di zaman itu pula secara lebih meluas simpul-tali digunakan pula pada busana tradisional.

Jauh melampaui sebuah penggunaan sebagai ornamen dekoratif untuk perayaan, unsur gaya dari simpul China menemukan tempatnya di kalung, stek sanggul dan pernak-pernik dekorasi gantung. Simpul tertentu seperti “simpul bahagia” dipergunakan sebagai azimat untuk menolak bala dan mengalahkannya, menghindari musibah dan mendatangkan kebahagiaan.

Selama abad yang lalu terutama di China yang masih dikuasai komunis, bentuk kesenian ini kehilangan maknanya. Baru pada akhir 90-an kesenian simpul-tali tersebut seperti halnya bordir dan busana tradisional ditemukannya kembali. Sejak saat itu ia digemari dan menguasai terus kota-kota.



(THE EPOCH TIMES)



Tali menyimpul harapan baik

Karakteristik dari simpul-tali China ialah ia dibentuk dari seuntai tali saja. Tali sepanjang minimal 1 meter sesuai metode, urutan dan aturan yang sudah ditetapkan, dibalut, dirol, disulam dan ditarik, sehingga menjadi simpul yang beraneka ragam dan memikat.

Memang simpul tertentu betul-betul rumit dan penuh seni dalam pola dan desainnya, kesemuanya merupakan kombinasi dari maksimal 20 macam teknik dasar. Simpul China terlihat sama dari depan dan belakang.

Bagaimana memperoleh nama

Berbagai kemungkinan bagaimana simpul tersebut bisa dinamakan demikian. Simpul-tali yang berlainan memperoleh nama bisa dari bentuk atau tujuannya, lokasi dimana mereka terjadi, dimana mereka ditemukan atau makna di balik nama simpul tersebut.

Maka simpul uang dopel kurang lebih menyerupai 2 buah uang logam tembaga dari zaman China kuno yang terbelah di tengah dan ditaruh. Simpul kenop memiliki nama dari penggunaannya. Simpul 10-ribuan mirip bukan saja dalam bentuk swastika Buddha yang oleh orang Tionghoa juga dipakai untuk memaknai angka 10 ribu, ia selain itu juga acapkali muncul pada sabuk patung Dewi Kwan Im, sang bodhisatwa kebajikan.

Simpul tak terhingga meniru 8 simbol kebuddhaan yang berarti sirkulasi abadi, dari situ semuanya berkembang biak. Simpul-tali menekankan secara seksama pertali-temalian yang tak terhingga ini dan merupakan dasar dari banyak variasi. (Maria Zheng/The Epoch Times/whs)


BETAPA SENGSARA HARUS TETAP TERSENYUM



Berani memilih adalah memahami situasi dan memperhitungkan perubahan, memanfaatkan kelebihan dan menghindari kekurangan, memutuskan pilihan yang bijaksana lebih unggul daripada keterikatan yang membabi buta. Manusia yang mengerti bagaimana untuk melepaskan, baru bisa memiliki kematangan, baru bisa hidup lebih mantap, tenang tanpa perasaan waswas dan santai.

Melepaskan itu bukan suatu kegagalan, bukan rela terperosok dalam kesesatan, ini semacam ketenangan yang menjauh dari nama dan keuntungan serta menjauh dari kebisingan, adalah ketenangan yang bisa menampakkan keceriaan wajah walau ketika sedang mengalami kesesatan. Dalam banyak hal melepaskan itu merupakan semacam kebijakan!

Benda sebagus apapun, jika persyaratannya masih belum matang atau secara subyektif masih belum mampu dikendalikan, maka benda tersebut lebih baik dilepaskan saja. Orang yang mengerti bagaimana melepaskan, akan tahu apa yang harus dan tidak seharusnya dilepaskan. Orang semacam ini tidak akan mengejar membabi buta benda-benda yang bukan miliknya, juga tidak akan melepaskan begitu saja benda-benda yang menjadi miliknya.

Melepaskan, itu merupakan suatu keberanian. Yang tidak seharusnya dilepaskan, tidak akan dia lepaskan, itu merupakan semangat heroik. Yang seharusnya dilepaskan tidak melepaskan, itu adalah kejengkelan. Yang tidak seharusnya dilepaskan dia lepaskan, itu adalah suatu kebodohan.

Melepaskan itu semacam pelepasan, penyemangatan, terlebih lagi semacam strategi, demi meluangkan tempat untuk bisa menerima benda-benda lain yang lebih banyak dan bagus.

Jika dikatakan bahwa kepercayaan merupakan bahan pelumas dari hubungan antar manusia, maka kecurigaan merupakan kaca yang terselip diantaranya.

Argumentasi yang meyakinkan itu adalah perak, mendengarkan dengan saksama itu adalah emas. Dalam hubungan antar manusia, sedapat mungkin lebih banyak mendengarkan dan sedikit berbicara. Ingin menciptakan suasana yang harmonis dari hubungan tersebut, harus bisa belajar kesabaran mendengarkan dengan saksama.

Hal-hal yang menyengsarakan lebih baik dilupakan saja saat sedang berjalan-jalan. Tidak ada salahnya jika Anda mau mencobanya, maka segala hal-hal yang menyengsarakan akan sirna beterbangan.

Kesengsaraan itu sama dengan kesenangan, bisa menciptakan semacam suasana. Saat memasuki rumah orang lain, dari pandangan pertama, Anda bisa mengetahui suasana pemilik rumah dalam kesengsaraan atau kegembiraan.

Kegembiraan itu urusan diri sendiri, asalkan Anda mau, setiap saat Anda bisa membuka jendela jiwa Anda dan masuk dalam kegembiraan. Asalkan hal itu Anda senangi, maka itu yang terbaik, tidak perlu mempedulikan pandangan orang lain. Membiarkan orang lain menilai kegemaran diri kita, sama saja dengan pikiran kita diatur oleh orang lain, maka hidup kita akan menjadi sangat susah.

Mengubah diri sendiri, sebenarnya adalah memperkaya diri sendiri secara terus-menerus, banyak orang yang takut dengan perubahan, karena mereka tidak bisa menjamin diri mereka yang baru.

Konsep semacam ini setelah terkumpul dan mengendap terlalu lama, bisa membuat orang kehilangan keberanian dalam menghadapi tantangan.

Tidak percaya dan tidak menghargai diri sendiri, hanya akan membuat orang lain meremehkan Anda, karena orang lain selalu memandang diri Anda melalui pandangan Anda sendiri.

Anda mengira saya ini miskin dan tidak cantik lalu sudah kehilangan harga dirikah? Anda keliru! Dalam hal semangat kita sebenarnya sama rata! Persis seperti saya dan Anda, pada akhirnya akan mengalami pemakaman dan berdiri sederajat di hadapan Tuhan.

Daripada menghamburkan waktu dan energi merasa iri pada orang lain, lebih baik menggunakan segenap tenaga untuk menambah ketrampilan diri, menjadi seorang yang dikagumi oleh orang lain.

Seseorang jika mempunyai pandangan sendiri, berpikiran cerdas tidak mudah tunduk pada orang lain dan tidak terombang ambingkan oleh keadaan dunia fana. Maka hal ini merupakan kualitas bagus yang tidak diragukan lagi dan patut dipuji. Tetapi syaratnya harus bisa tidak bersikeras atas pandangan diri sendiri, tidak ekstrim dan keras kepala.

Ketika berhubungan dengan orang lain untuk mempertahankan harga diri, jangan lupa juga harus menyisakan sedikit harga diri bagi orang lain.

Tidak perlu terlalu perhatian terhadap kabar angin orang lain, juga mengkhawatirkan penyimpangan pemikiran diri sendiri, harus yakin dengan pandangan kita sendiri, yakin kepada keputusan yang telah diambil, selalu memikirkan perasaan sadar diri kita sendiri. Menggunakan pandangan tajam untuk menembus dan melihat dunia ini, menggunakan hati untuk mendengarkan, rabalah kehidupan yang beraneka ragam ini, berikanlah jawaban yang penuh kepribadian kepada diri sendiri.

Perangai bagaikan batang pohon, nama dan keuntungan bagaikan naungan pohon. Kita acapkali hanya memikirkan naungan, namun tidak menyadari bahwa batang pohon itu adalah pokok dasarnya.

Tuhan tidak menciptakan suatu standar bagi manusia. Manusia di dunia ini bagaikan sebuah apel yang telah digigit Tuhan, mereka semua mempunyai kekurangan. Ada orang yang kekurangannya sangat besar, itu disebabkan Tuhan sangat menyenangi bau harum semerbak diri orang itu.

Bersabar adalah semacam perilaku bajik, kerasionalan dan kematangan. Bersabar adalah strategi yang perlu dikejar. Seseorang yang mengejar keberhasilan lebih besar, di saat yang krusial acapkali bisa mengekang diri tidak menangkis hinaan atau celaan orang lain.

Rahasia dari keberhasilan terletak pada bagaimana kita bisa mengendalikan kekuatan dari kesengsaraan dan kegembiraan, dan tidak sebaliknya kita dikontrol olehnya.

Gunakanlah perasaan tanpa waswas untuk menyambut ketidak beruntungan. Sepanjang-panjang musim dingin yang sangat dingin bukan berarti musim semi tidak akan tiba. Belajarlah menyayangi diri sendiri, orang yang pandai pasti akan belajar bagaimana memperlakukan diri sendiri dengan baik.

Menghadapi hal-hal yang kurang adil dalam kehidupan ini, jangan terlalu dipaksakan. Kehidupan ini memang demikian, asalkan kita belajar dan mengerti bagaimana mengarungi hidup ini, maka diri kita akan menjadi hambar terhadap ketidak adilan hidup ini.

Tersenyumlah menghadapi sesuatu, berilah sebuah jalan mundur bagi diri sendiri, berilah sedikit waktu untuk menyimpan tenaga bagi diri sendiri, berikanlah sedikit pengertian dan kemurahan hati bagi diri sendiri. Maka kita akan menghadapi kehilangan dengan tanpa perasaan waswas, lalu suasana hati menjadi tenang, mendapatkan suasana hati yang baik bagi diri sendiri.

Malu adalah semacam kekuatan agung dalam perjalanan kehidupan manusia, dia bukan hanya bisa memukul hancur kelemahan, bahkan bisa menjadi kekuatan.

Ketika Anda merasakan tidak harmonis dengan lingkungan luar, bila ingin mengubah orang lain atau lingkungan itu agak sulit dilakukan, maka ubahlah diri Anda sendiri!

“Dalam kehidupan ini selalu ada banyak kegagalan, kesengsaraan dan siksaan. Di saat yang demikian ini janganlah menutup dan mengunci jiwa Anda. Jangan biarkan jiwa Anda diselubungi mendung gelap, jangan campakkan segala benda indah dalam kehidupan Anda. Bukalah jiwa Anda dengan lapang. Ketika ketidak beruntungan hadir di samping Anda, belajarlah menyayangi diri sendiri, katakanlah kepadanya, “Semua cobaan ini akan berlalu, sayangilah setiap jengkal waktu dalam kehidupan, perlakukan diri sendiri dengan baik!”

Bagaimana baru bisa membuat diri Anda sendiri menjadi tiada duanya? Sangat mudah, jadilah diri sendiri! Karena hanya orang yang berani hidup bagi diri sendiri, barulah bisa benar-benar menjadi peran utama dalam hidup ini, menjadi penentu nasib bagi diri sendiri.

Ketika kesempatan itu hadir, pertama-tama yang harus Anda lakukan adalah mencampakkan segala kekuatiran, menerobos dan memenangkan diri sendiri, berikanlah satu kesempatan bagi diri Anda sendiri.Jangan menantikan masalah itu sempurna atau sama sekali tidak berisiko baru mau dicoba. Jika demikian maka Anda mungkin selamanya tidak akan mendapatkan kesempatan yang demikian.

Kesengsaraan itu bersumber dari suasana hati Anda, kegembiraan itu hanya merupakan semacam pilihan Anda sendiri. Tampunglah hal-hal yang sulit ditampung dunia. Riang penuh harapan berpandangan luas dan bermurah hati baru bisa hidup dengan santai. (Zhang Zhao/The Epoch Times/lin)

MAKNA MENDALAM LEGENDA CHANG E MENUJU BULAN


“Chang E (Putri Bulan) Menuju Bulan, sebuah legenda kuno prasejarah. Memiliki peran penting dalam membentuk kebudayaan warisan dewata di China.”

Di dalam proses pewarisan sejarah yang begitu panjang, tak dapat dihindari terkontaminasi banyak konsep duniawi dan perasaan manusia (selanjutnya disebut: emosi). Tarian Chang E Menuju Bulan yang dipentaskan Shen Yun Performing Arts pada 2008 lalu, secara nyata telah mewujudkan lagi kisah yang sebenarnya.

Begitu tarian dimulai, adegan yang ditampilkan Ratu Barat (Dewi penguasa Negara Barat di dalam mitologi China kuno) sedang memberikan hadiah berupa ramuan ajaib kepada suami istri Hou Yi. Tentu saja, setelah mereka memperoleh pil yang konon bisa melepaskan diri dari lautan penderitaan, meluap kegembiraannya. Lantas kapan dapat terbang ke langit sehabis meminum ramuan tersebut? Hanya pada saat bencana besar tiba. Selama masa penantian itu, yang mereka lakukan hanyalah berkultivasi (= orang yang mematut diri dengan ketat terhadap prinsip alam semesta).

Bencana akbar itu benar-benar tiba, di langit muncul 9 matahari. Langit dan bumi berubah warna, pepohonan dan rerumputan begitu tunas sudah langsung lunglai, masyarakat terjerumus di lembah kesengsaraan dan menggelepar bak dipanggang api. Dalam menghadapi bencana itu, Chang E telah meminum separuh ramuan ajaib tersebut. Tatkala sisanya diberikan kepada Hou Yi, secara tak sengaja botol berisi sisa ramuan tersebut terjatuh dari tangan Hou Yi. Kedua orang itu sangat panik, mereka tahu ramuan yang tertumpah tersebut menandakan perpisahan mereka sebagai suami-istri, juga menandakan Hou Yi bakal masih harus bereinkarnasi di dunia fana.

Sebelum Hou Yi menumpahkan botol pusaka itu, ia telah bersumpah memanah jatuh para “matahari beracun” tersebut demi rakyat. Ia tidak menyesali ramuan tersebut, melainkan pergi menjelajahi hutan belantara dan pegunungan guna menuntut ilmu sakti agar dapat memanah jatuh “matahari beracun”.

Singkat cerita, setelah Hou Yi berhasil memperoleh busur dan anak panah sakti, dalam satu kali gebrakan ia berhasil memanah jatuh 8 matahari. Ketika hendak memanah jatuh yang ke-9, matahari terakhir, Chang E mencegahnya dan meminta membiarkan matahari terakhir itu untuk menyinari bumi, agar segenap makhluk hidup memperoleh sumber cahaya untuk pertumbuhan.

Manusia di bumi telah terselamatkan, misi Hou Yi selesai sudah. Saat itu, Chang E yang telah meminum ramuan ajaib tak dapat lagi tinggal di dunia manusia. Pada suatu malam yang sunyi dan indah, dengan dipenuhi perasaan pedih mendalam, Chang E terbang menuju Istana Bulan.

Di dalam proses Hou Yi mencari keberadaan Chang E, dalam duka dan nestapa, ia sungguh sangat tidak menginginkan sang istri pergi meninggalkannya. Ketika ia menemukan Chang E yang sedang terbang menjauh, kesedihan memenuhi dada dan di bawah tekanan emosi yang menyengsarakan, ia terjatuh. Jarinya menunjuk ke arah terbangnya Chang E, mengekspresikan pahit getir perpisahan yang harus ia tanggung.

Tarian Chang E Menuju Bulan sangat menyentuh hati para penonton, ada keberanian seorang pahlawan penyelamat manusia yang sedang dirundung bencana, ada cinta mendalam sepasang suami-istri, ada kesulitan dan rasa bersyukur insan manusia, ada anugerah dan pengayoman sang Pencipta, juga ada kepedihan perpisahan suami-istri. Namun, makna mendalam legenda tersebut tidak berhenti sampai di situ saja.

Setelah Ratu Barat menghadiahi ramuan ajaib, barulah Hou Yi ceroboh menjatuhkannya. Ratu Barat tentu mengetahui bencana besar yang bakal dihadapi manusia di dunia, yang Ia selamatkan adalah manusia pilihanNya. Dalam poin ini mirip dengan prinsip Taoisme, dalam hal “Guru memilih murid”. Manusia pilihan tersebut berbakat dasar baik dan memiliki takdir pertemuan yang mendalam dengan sang guru. Akan tetapi, hubungan yang jauh lebih mendalam, tidak mampu terdeteksi Ratu Barat.

Bencana di dunia manusia pasti sudah ditakdirkan, manusia di dunia fana sebetulnya juga bukan demi menjadi manusia. Tingkatan asal mula sebagian orang di dunia ini sangat tinggi, tujuan mereka turun ke dunia sebetulnya demi berkultivasi, sekaligus bertugas mencipta berbagai kebudayaan yang dibutuhkan umat manusia, tentu saja termasuk menggunakan bencana di dunia untuk mencipta dan mewariskan kebudayaan.

Seperti Hou Yi memanah matahari, ini bukan sembarang orang hendak melakukannya lantas dapat dilakukan. Bisa dikatakan, Hou Yi memanah matahari merupakan misi yang diberikan sang Pencipta kepadanya, juga merupakan perjanjian dengan sang Pencipta sebelum kedatangannya ke dunia. Ia bukan saja harus memanah matahari, juga harus menahan derita perpisahan dengan sang istri. Jika tidak, tiada lagi kepiluan dan kesepian yang menyertai terbangnya Chang E ke bulan. Tiada kesenyapan dan kesebatang-karaan di Istana Guang Han (Istana Dingin nan Luas), maka tiada lagi makna yang lebih mendalam tatkala sang rembulan dilantunkan kaum sastrawan yang muncul sesudahnya. Boleh dibilang, pernikahan dan perpisahan sepasang suami-istri tersebut sudah merupakan takdir.

Maka dari itu, lantas terjadi pengaturan yakni sewaktu bencana datang menghampiri, Chang E meminum ramuan ajaib dan Hou Yi menjatuhkannya. Kita tentu tidak dapat berdasarkan kejadian tersebut memvonis Chang E egoistis. Ketika Hou Yi siap membidik matahari terakhir, Chang E yang mencegahnya.

Chang E bukan seorang kultivator tanpa cela, di saat terpaksa meninggalkan dunia manusia, sempat merasa pilu lantaran kehilangan suami. Barangkali kesunyian di Istana Bulan memberikan suasana bertahap menempa diri sehingga akhirnya berhasil memutus takdir perasaan. Karena Istana Bulan hanyalah perwujudan sebuah dimensi tertentu dari selapis langit, semuanya masih berada di dalam Triloka, sedikit banyak masih memiliki perasaan manusia.

Perasaan Hou Yi terhadap istrinya juga cukup berat, di akhir cerita diekspresikan dengan sangat menyentuh. Apabila suami-istri ini terbang bersama ke Istana Bulan, di mata orang awam tentu saja merupakan sebuah akhir cerita yang agak sempurna. Akan tetapi, lantas bagaimana bisa melanjutkan peningkatan kultivasi mereka masing-masing? Dilihat dari sudut pandang itu, perpisahan keduanya adalah pasti.

Tentu sebuah pengaturan kejadian tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja, permasalahan yang berkaitan sangat banyak. Bagaimanapun juga ini kebudayaan yang hendak diwariskan sang Pencipta kepada manusia. Hendak membuatnya menjadi mitologi yang diteruskan dari generasi ke generasi, juga dipastikan memiliki makna yang sudah ditentukan. Mitologi semacam ini pada taraf agak luas, mempengaruhi interpretasi kebudayaan China di kemudian hari.

Hou Yi sebagai jiwa dari lapisan tinggi alam semesta datang ke dunia fana. Misinya bukan hanya mencipta sebuah kebudayaan saja (tradisi Perayaan Bulan Purnama Tiongjiu yang tahun ini jatuh pada 28 September lalu). Ia turun ke dunia fana, maka harus bereinkarnasi di dalam dunia manusia.

Di dalam reinkarnasi yang berlangsung bermasa-masa, boleh dibilang, setiap masa juga pasti terdapat pengaturan khusus mengenai dirinya. Sedangkan reinkarnasi hanyalah suatu bentuk eksistensi di dunia fana bagi jiwa. Ia di dalam misteri jiwa itu, sedang menanti melakukan peristiwa yang lebih besar tentang umat manusia. Apabila Hou Yi (secepat itu) kembali ke khayangan, termasuk para tokoh di dalam dongeng mitologi lainnya, seusai sempurna berkultivasi dan kembali ke kerajaaan surga mereka, bagaimana mungkin dapat menyelesaikan sumpah besar yang mereka ikrarkan sebelum turun ke dunia fana?

Dari sudut pandang ini dikatakan, para jiwa yang menempuh marabahaya turun ke dunia dan telah meninggalkan jasa penuh kemuliaan sekaligus mencipta serta memperkaya khasanah kebudayaan umat manusia juga mengakumulasi berkah kewibawaan bagi dirinya sendiri. Maka, apakah hal terbesar umat manusia zaman sekarang? Dimana seluruh umat manusia menuju bencana akhir, yaitu situasi perkembangan manusia sudah menemui jalan buntu, seluruh alam semesta dengan sendirinya termasuk umat manusia berada dalam situasi genting. Saat ini, dipastikan terdapat kehadiran juru selamat besar yang turun ke dunia fana demi menyelamatkan umat manusia.

Sedangkan manusia yang berkoordinasi mengerjakan segala sesuatu (dari proyek) ini, merupakan jiwa-jiwa tingkat tinggi pada zaman pra sejarah yang silam. Berasal dari ketinggian tertentu alam semesta dan turun ke dunia manusia. Tujuan mereka turun ke bumi, selain untuk berkultivasi di dunia manusia, juga ada yang memiliki misi penyelamatan seluruh umat manusia pada masa akhir zaman. Dilihat dari sudut pandang ini, makna pekerjaan yang dilakukan orang-orang ini, serupa dengan tindakan heroik penyelamatan Hou Yi terhadap manusia kala itu.

Tentu, cara yang dipakai mereka beraneka ragam, termasuk menggelar makna sesungguhnya Chang E Menuju Bulan dan menggunakan inti sari dari kebudayaan warisan Dewata yang orisinil untuk menggugah sifat hakiki manusia. Ini barulah fakta sesungguhnya tarian Chang E Menuju Bulan dan pertunjukan Shen Yun Performing Arts yang dipersembahkan kepada manusia di dunia.

Dari sudut pandang ini, makna Chang E Menuju Bulan yang diwariskan ribuan tahun lamanya, juga sedang menggugah manusia. Barangkali, kala itu Hou Yi sedang menggunakan caranya sendiri melakukan penyelamat-an makhluk hidup. Mengapa setelah menonton Chang E Menuju Bulan dan pertunjukan Shen Yun Performing Arts lainnya otomatis sudah berarti sama dengan menyelamatkannya? Tarian ini sekali pentas bisa merasuk ke sanubari manusia, itulah efek tak terelakkan dari kebudayaan warisan Dewata.

Yang dipertontonkan dan dipentaskan Shen Yun Performing Arts merupakan kebudayaan warisan Dewata Tionghoa sesungguhnya. Banyak orang usai menikmati pertunjukan Shen Yun Performing Arts telah tersadarkan. Tergugahnya mereka menandakan penyelamatan mereka!

Ketika mereka benar-benar memahami kandungan makna Chang E Menuju Bulan, mereka telah memahami fakta sesungguhnya dari jiwa. Bisa saja sesaat itu mereka masih belum jelas benar arah tujuannya, namun di dalam hati mereka benar-benar telah memahami penyelamatan sang Pencipta terhadap manusia di dunia. (The Epoch Times/whs)

ADAT BURUK ORANG TIONGHOA DARI MANA ASALNYA?


Sejak Shanghai World Expo dibuka, kebiasaan buruk orang China seperti meludah di sembarang tempat, buang air besar tidak disiram, buang sampah sembarangan, berbaring di sembarang tempat, berteriak-teriak sesuka hati, bahkan anak-anak buang air kecil dan besar di sembarang tempat dan berbagai kelakuan tak beradab lainnya, sekali lagi membuat dunia terbelalak, bersamaan dengan keterkejutan dan rasa muak orang luar negeri, tak sedikit orang China merasa malu tak terkira.

Tentu saja, tindakan tidak beradab semacam itu, bukan hanya muncul di World Expo saja, itu terjadi pada orang China yang keluar negeri dan dalam kehidupan sehari-hari, boleh dibilang bisa ditemui dimana saja. Yang membuat orang tak habis pikir, banyak orang China tidak merasa risih dengan adat buruk tersebut.

Untuk hal itu, tidak sedikit esai yang berusaha menganalisis penyebabnya. Ada orang bahkan mencari sumbernya dari dalam kebudayaan tradisional China sendiri dan menyebutnya sebagai kebiasaan buruk yang ditinggalkan leluhur mereka. Lantaran orang kuno “ketinggalan zaman dan kehidupan yang terbelakang”, maka tentu saja lantas tidak memperhatikan kesehatan, tidak memperhatikan peradaban dan adat buruk yang telah berlangsung beberapa ribu tahun itu, tentu saja mutlak tidak bisa diubah dalam waktu singkat.

Orang yang mempunyai sudut pandang seperti itu boleh dibilang salah besar. Pada kenyataannya, meski dikatakan di zaman China kuno mereka tidak memiliki peralatan canggih seperti pesawat terbang, mobil, telepon, TV dan lain-lain, tetapi itu tidak lantas berarti bahwa kualitas kehidupan masyarakat China kuno lebih rendah daripada manusia zaman sekarang.

Realitanya, jalan yang ditempuh iptek zaman China kuno adalah sebuah jalan perkembangan yang berbeda, dan toh telah mencapai taraf kemajuan yang susah diimajinasikan manusia zaman sekarang; sedangkan peradaban orang zaman kuno bukan hanya diwujudkan di dalam etiket sehari-hari, bahkan diwujudkan dengan perhatian terhadap detil kehidupan hingga mempelajari dengan seksama tentang kesehatan.

Ratusan tahun lalu, para bangsawan Eropa saat makan masih meletakkan hewan atau unggas utuh di atas meja makan, dan ramai-ramai disantap dengan secara primitif. Saat itu juga orang Eropa ketika menonton opera meludah dengan sembarangan di dalam gedung. Banyak juga orang Eropa yang seumur hidup mereka tidak pernah mandi (di negara 4 musim hal semacam itu memungkinkan, karena tubuh tidak mudah berkeringat). Sementara itu di China dimana peradaban sudah berkembang maju dan pada posisi memimpin, situasinya sama sekali berbeda. Kondisi seperti itu pernah dikagumi dan dipuji orang-orang dari berbagai suku bangsa.

Jauh sebelumnya, yakni 2.000 tahun lalu, masa pemerintahan Qin (baca: Jin), orang China kuno sudah mulai memperhatikan kesehatan pribadi. Banyak yang menganjurkan “membersihkan rambut setiap tiga hari sekali dan mandi setiap lima hari sekali”. Terkadang mandi (cara mandi masyarakat di negara 4 musim, dengan berendam dalam bak) bahkan merupakan semacam ritual yang sangat penting, untuk mewujudkan niatan respek.

Misalnya, sebelum Kaisar memberikan persembahan kepada Langit diharuskan mandi terlebih dahulu. Pernah pada zaman Dinasti Han (206 SM – 220 Masehi) ditetapkan para pejabat sesudah bekerja 5 hari berturut-turut, hari berikutnya boleh libur satu hari untuk mandi. Disebut “istirahat mandi”. Kaisar Liang Jian Wen – Xiao Wang dari Dinasti Nan Chao (502-557 M) yang menyukai kebersihan juga menulis kitab “Serba Serbi Mandi”.

Kamar mandi paling awal tentu saja hanya dimiliki keluarga kaisar, minimal sudah eksis sejak didirikan Dinasti Zhou (abad 11 – 256 SM). Sekitar zaman Han, kamar mandi umum sudah bermunculan di kompleks vihara, misalnya bekas kamar mandi pernah digali di situs kuil aliran Buddha-Fu Feng di Provinsi Shanxi zaman Han Timur (25 - 220 M). Menurut catatan Dinasti Song, waktu itu area “sarana kamar mandi umum” itu merupakan satu dari 24 sarana yang terdapat di dalam kompleks tersebut. Dapat menampung ribuan orang mandi dalam satu hari. Selain itu menurut kitab “Catatan Asrama Bhiksu Kota Luo Yang” dari Yang Xuan, di dalam Kuil Bao Guang juga terdapat kamar mandi umum super besar.

Pada zaman Song (960 - 1279 M) kamar mandi dengan bak besar untuk kalangan rakyat jelata juga muncul dan terus berlangsung hingga kini. Hong Mai dari zaman Song menulis di “Yi Jian Zhi”, pada umumnya orang membangun rumah pasti terdapat ruang untuk mandi. Tatkala Marco Polo datang ke China pada zaman Yuan (1206 - 1368 M), ia sampai takjub, “Orang China setiap hari mandi!”

Padahal zaman itu, ini mustahil terjadi di Eropa. Selain mandi setiap hari, di kitab “Xi Jin Zhi” dari zaman Yuan juga tercatat: Di keluarga terpandang, sebelum putri dinikahkan, harus dimasukkan dulu ke dalam kamar mandi untuk dibersihkan dengan tuntas. Boleh dibilang aktivitas mandi kala itu sudah menyatu dengan acara ritual pernikahan.

Orang zaman kuno yang memperhatikan kebersihan, tentu saja juga sangat peduli dengan penampilan diri sendiri. Orang kuno dalam perawatan tubuh seperti mandi lulur, membasuh muka, menyeka tubuh, masing-masing menggunakan bahan berlainan dan sangat rumit. Krim mutiara, bedak, pemerah muka, minyak Osmanthus, lilin rambut, kantong aroma dan lain-lain, merupakan bahan kebutuhan sehari-hari. Lebih-lebih dalam hal perawatan rambut kemilau juga sangat diperhatikan.

Aksara 若 (Ruo, bermakna penurut), di dalam aksara Jia Gu (aksara kuno prasejarah yang ditulis di atas cangkang kura-kura maupun tulang), berbentuk menyerupai seorang gadis seusai mencuci kepala sedang menyisir rambutnya. Mereka biasanya sesudah menyisir rambut dengan rapi, masih diperlukan menggelung dan menyanggulnya, lalu menancapkan jepit sanggul yang terbuat dari tulang halus maupun batu Giok agar terkunci rapat. Di luar sanggul masih dibungkus lagi dengan kain sutra, kemudian mengenakan mahkota, sangat peduli sekali. Seseorang dengan penampilan rambut acak-acakan, waktu itu hanya bisa dinilai orang tersebut mengidap penyakit jiwa atau mengalami stres karena mengalami musibah hebat.

Mengenai kesehatan mulut, orang zaman China kuno juga sangat peduli. Jauh pada tahun 3.000 SM, tercatat mengenai kebersihan rongga mulut dan pemeliharaan gigi. Orang itu biasanya menggunakan arak, cuka, air garam, teh dan air hangat untuk kumur atau dengan metoda menggosok gigi menggunakan garam hijau untuk perawatan higienis mulut. Kemudian juga belajar dari para biksu suatu kebiasaan mengunyah ranting pohon Willow guna pembersihan mulut, yakni mengandalkan mengunyah semacam ranting yang dinamakan Kayu Gigi untuk menggosok permukaan gigi, sekaligus menggunakannya untuk menggosok lidah dengan tujuan membersihkan bakteri.

Dari kitab sejarah juga tercatat, pada saat Dinasti Liang Selatan pada abad-6, ada sebuah benda dinamakan “Saput hitam untuk mulut/gigi” guna menambah putih dan meninggalkan aroma wangi bagi gigi. Pada masa Dinasti Tang (618 - 907 M) dan Song, beredar “pasta gigi” yang mengandung ramuan herbal, seperti di dalam kitab “Tai Ping Sheng Hui Fang” zaman Song yang mencatat secara rinci mengenai pasta dan metode pengobatan gigi.

Atensi orang zaman kuno terhadap higienis, dimulai sejak pendidikan anak. Misalnya di dalam buku karya terkenal dari kalangan sekolah khusus “Peraturan Siswa” tercatat: “Pagi membasuh sembari kumur, lantas buang air kecil dan besar, selalu bersihkan tangan. Topi mahkota harus rapi, simpulkan kancing, kaos kaki dan sepatu komplit.” Sejak dini anak sudah dibiasakan hidup higienis dan memahami etiket, setelah beranjak dewasa bisakah ia menjadi seorang yang tidak beradab?

Kebiasaan orang kuno membuang sampah sehari-hari dengan sembarangan malah sangat langka. Pada 3.000 – 4.000 tahun lalu, orang zaman kuno sudah mengerti mengumpulkan sampah secara terpusat dan menggunakan lubang alami ataupun galian untuk menjejalinya dengan sampah. Mereka juga mengetahui cara tercepat menuntaskan sampah dengan membakarnya langsung, yang tak habis terbakar lantas diurug.

Pada periode Negara Berperang (Zhan Guo, 770 SM – 256 SM), terhadap orang yang sembarangan menumpahkan sampah bisa dihukum berat dengan pemotongan tangan. Selain itu pabrik pembuatan tahu, arak dan lain-lain, diwajibkan membenahi saluran pembuangan, jika tidak akan dilecehkan masyarakat. Perbengkelan seperti perusaahaan pencelupan dengan polusi berat harus membuat saluran pembuangan. Orang kuno malah memperhatikan penangkalannya.

Seperti yang terjadi di Gunung Hu Qiu, Kota Su Zhou, di dalam dinding sebelah dalamnya terdapat sebuah batu monumen dengan grafir ukiran “prasasti pencelupan Hu Qiu yang dilarang beroperasi selamanya”. Orang lokal menyebutnya “prasasti pelarangan pencelupan”, dikarenakan pada Dinasti Qing (baca: Jing, 1616 - 1911), bengkel pencelupan di sekitar daerah tersebut terlalu banyak sehingga pemilik tidak memperhatikan lingkungan, dengan seenaknya menggelontorkan limbah ke dalam sungai dan mencemarinya. Itulah sebabnya pemerintah melarang beroperasinya bengkel pencelupan di tempat tersebut.

Selain itu, menyapu, mempertahankan lingkungan yang bersih, juga merupakan pembelajaran yang harus dilakukan orang zaman kuno. Mereka juga mempunyai kebiasaan membersihkan rumah. Dalam kitab Zhou Shu: “Kunci Pembangunan Rumah Tinggal” tercatat: Orang kuno sering kali menghendaki “saluran lancar, rumah kediaman bersih, tidak ada bau pengap, tidak menimbulkan wabah”. Hingga kini masih banyak hari besar yang mempertahankan adat istiadat seperti itu. Di dalam kitab “Pedoman Pengelolaan Rumah ala Zhu Zi” mendidik anak “bangun subuh, bersihkan rumah, harus bersih luar dalam”.

Tentang apakah orang kuno mempunyai kebiasan meludah pada sembarangan tempat, atau pernah terdapat pengumuman yang membatasi warganya meludah di sembarang tempat, termasuk kitab amatir sejarah China semuanya tidak nampak pencatatan semacam itu. Penyebab yang paling penting, mungkin dikarenakan, di bawah naungan kebudayaan tradisional China, orang kuno bertitik tolak dari menegakkan moralitas, selain itu juga mematuhi etiket, di dalam hatinya terdapat akhlak, perkataan dan perbuatannya dengan sendirinya dapat mempertimbangkan apakah pada tempatnya meludah di sembarang tempat, karena hal tersebut termasuk perilaku yang tidak etis, dengan sendiri-nya orang kuno merasa tabu mempermasalahkan kepatutan hal tersebut.

Sebuah penelitian zaman sekarang beranggapan, orang kuno ketika harus meludah, terkadang membuka lengan pakaian (pakaian zaman China kuno memiliki lengan yang lebar dan di sebelah dalamnya terdapat semacam saku) dan meludah ke dalamnya, atau menggunakan sapu tangan, membungkusnya dan dimasukkan di balik pakaian.

Di sejumlah tempat masih dapat dijumpai semacam bokor kecil yang khusus disiapkan untuk tempat orang meludah. Pada zaman Dinasti Tang bahkan terdapat pasal mengenai denda terhadap warga asing yang ketahuan meludah sembarangan, agar memperingatkan kepada mereka tidak diperkenankan di jalan raya dan tempat umum lainnya melakukan tindakan tidak terpuji.

Dari sini bisa dilihat, meludah sembarangan tempat merupakan tindakan tidak beradab, orang kuno sudah mengetahuinya. Maka boleh dibilang, meludah sembarangan, mutlak bukan adat kebiasaan orang Tionghoa, juga mutlak bukan adat buruk peninggalan leluhur yang diwariskan. Tentu saja, orang kuno mempunyai kebiasaan “meludah”, namun kebanyakan saat menghadapi orang dan persoalan tertentu yang menimbulkan kemarahan barulah melakukan hal seperti itu. Menyatakan rasa muak dengan meludah di sembarang tempat adalah dua hal yang berbeda.

Maka, sejak kapan orang Tionghoa berubah menjadi tidak beradab? Berubah sedemikian kasar? Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan penolak-an bahkan pencampakkan kebudayaan tradisionalnya sendiri. Kebudayaan tradisional China berlandaskan tiga ajaran agama yakni: Buddha, Khonghucu dan Taoisme.

“Kemanunggalan antara manusia dan Langit” mewakili sudut pandang alam semesta orang kuno. “Kebijaksanaan dan Iman” dari Khonghucu menjadi spesifikasi dan landasan moral masyarakat. “Kesetiaan, balas budi, pengendalian diri dan keadilan” adalah standar kehidupan manusia di dunia.

Orang Tionghoa yang berendam di dalam kebudayaan yang besar dan mendalam itu tentu saja respek terhadap Langit dan bumi, setia kepada masyarakat, memperhatikan keluarga dan memperhatikan peradaban.

Namun sejak zaman Song, kebudayaan tradisional mulai tak henti-hentinya mengalami pengrusakan dan terjadi pengingkaran terhadap tradisi. Setelah gerakan “4 Mei (Gerakan Pembaharuan yang dimulai 4 Mei 1919)”, sebagian intelektual yang berpandangan jangka pendek dalam rangka mencari jalan keluar bagi China modern, juga dimulai dari pengingkaran kebudayaan tradisional dan merapat ke peradaban Barat. Akan tetapi konflik dan evolusi di ranah kebudayaan senantiasa saling bersaing di wilayah intelektual, artinya tidak melibatkan kekerasan dari pihak negara.

Pada masa Republik China (masa sebelum Komunis berkuasa pada 1949), banyak adat istiadat tradisional yang masih eksis di masyarakat. Bagi banyak orang terutama yang berpendidikan, berbusana rapi, bertutur-kata intelek, tidak meludah di sembarang tempat dan lain-lain masih merupakan sebuah kriteria penting untuk menilai kematangan jiwa seseorang.

Setelah PKC (Partai Komunis China) berkuasa pada 1949, konflik seputar kebudayaan ditingkatkan ke taraf tinggi yang berkaitan dengan eksistensi PKC sendiri. Oleh karena itu mereka melakukan cara merusak langsung dengan meluluh-lantakkan, dan cara pengrusakan tak langsung ala “membuang ampasnya, sedot sarinya”, serta melalui penyalah-gunaan. Demikian kebijakan pemerintahan mereka terhadap kebudayaan.

Terlebih lagi saat Revolusi Kebudayaan (1966 - 1976), telah mendorong penghancuran kebudayaan tradisional ke taraf yang tak bisa diperbaiki lagi. Partai Komunis mengaduk-aduk konsep nurani masyarakat, sehingga mereka menjauhi tradisi bangsa. Demi mengingkari kebudayaan tradisional, mereka memuji hal yang kasar sebagai keindahan dan menggerakkan aksi “Naik Gunung Turun Desa” yakni gerakan mengirim pemuda-pemudi seluruh negeri ke pedesaan terpencil untuk belajar dari kaum buruh - tani yang memang tidak berpendidikan dan berkelakuan kasar.



(INTERNET)


Melalui gerakan bertubi-tubi tersebut, meski kaum intelektual China tidak lagi mematut diri dengan tata krama, tidak mengedepankan peradaban, bahkan tidak lagi menganggap tabu meludah sembarangan, berpakaian kedodoran, berperilaku malas-malasan, dan penuh umpatan kotor. Bahkan ada yang menganggap tindakan dan ucapan yang ngawur, dinilai tidak menghambat situasi secara keseluruhan. Bukankah itu semua berkat hasil kerja PKC?

Nampaknya, pada masa etika moralitas menuju ambang kehancuran ini, orang China jika tidak ingin menunjukkan keudikannya di depan masyarakat dunia, dan jika ingin memulihkan peradaban dan tata susila yang pernah eksis, harus mau mencampakkan PKC yang tak dapat hidup selaras dengan hal tersebut di atas, dan yang berupaya mati-matian merusak kebudayaan tradisional. (The Epoch Times/whs)

SEJARAH SINGKAT YIN DAN YANG


Sejarah Tiongkok kuno penuh dengan legenda, mukjizat, dan misteri yang telah mengilhami peradaban manusia hingga periode waktu sekarang.

Ada banyak faktor pendorong dalam hal ini, beberapa diantaranya bahkan lebih signifikan daripada lainnya. Sebuah simbol luar biasa yang telah menjadi simbol pokok di seluruh dunia adalah simbol Tao, Yin dan Yang. Simbol ini sudah luas dikenal di luar Tiongkok karena memiliki filosofis, historis dan makna batin spiritual yang mendalam.

Cara sederhana untuk menggambarkan simbol ini adalah bahwa ia mewakili “bagaimana segala sesuatu bekerja”. Di permukaan mungkin terdengar sederhana teta-pi apabila direnungkan lebih lanjut dan jika benar-benar dapat memahami sesuatu di balik simbol ini seseorang dapat memahami kedalaman maknanya yang signifikan. Serupa dengan cara kultivasi tingkat tinggi yang dipraktikkan di Tiongkok simbol Yin-Yang kelihatannya sederhana di permukaan namun kata-kata memiliki makna yang sangat mendalam.

Konsep Yin dan Yang dan Lima Unsur menyediakan kerangka intelektual tentang luasnya pemikiran ilmiah Tiongkok terutama di bidang-bidang seperti biologi dan kedokteran. Organ tubuh dianggap tidak saling terkait dalam berbagai cara yang sama seperti fenomena alam lainnya, dan paling baik dipahami dengan mencari korelasi dan korespondensi. Penyakit dipandang sebagai adanya gangguan dalam keseimbangan Yin dan Yang atau Lima Unsur yang disebabkan emosi, panas atau dingin, atau pengaruh lainnya. Dengan demikian terapi bergantung pada diagnosis akurat terhadap sumber ketidakseimbangan seperti mengubah cara hidup. Filosofi Yin dan Yang membimbing rakyat Tiongkok kuno dalam memperbaiki moralitas mereka.

Kaisar Kuning mengatakan ‘’Prinsip Yin dan Yang adalah dasar dari seluruh alam semesta. Ia mendasari segala sesuatu dalam penciptaan. Ia memberi panduan tentang pengembangan orangtua; ia adalah akar dan sumber hidup dan mati; kuil-kuil dewa beranggapan bahwa untuk merawat dan mengobati penyakit, seseorang harus mencari asal-usul mereka.”

Ide Yin-Yang telah menjadi kekuatan pendorong bagi tulisan-tulisan terkenal dari Tiongkok, seperti Kitab Perubahan (Zhouyi), Kedokteran Klasik Kaisar Kuning (Huangdi Neijing), dan Tao Te Ching. Budaya Tiongkok diketahui terinspirasi dari para dewa dan memiliki individu epik yang tak terhitung jumlahnya. Jika kita ingin memilih sebuah lambang untuk melambangkan budaya agung dan sejarah megah, simbol Yin-Yang pasti akan memiliki tempat yang adil dalam sejarah.

Catatan:

Berikut adalah ringkasan singkat tentang karakteristik Yin-Yang. Yin dan Yang pada dasarnya saling berlawanan, tetapi mereka adalah bagian dari alam, mereka bergantung satu sama lain, dan mereka tidak dapat hidup tanpa satu sama lain. Keseimbangan Yin dan Yang adalah penting. Jika Yin lebih kuat, Yang akan menjadi lemah, dan sebaliknya. Yin dan Yang dapat bertukar tempat dalam kondisi tertentu sehingga mereka biasanya tidak hanya Yin dan Yang saja. Dengan kata lain, Yin dapat berisi bagian tertentu dari Yang dan Yang dapat memiliki beberapa komponen Yin. Hal ini diyakini bahwa Yin-Yang eksis dalam segala hal. (Secret China/eva)

KETERIKATAN DAN KEBEBASAN


Saya pernah mendengar seorang rektor menceritakan sebuah kisah: Ada seorang nenek tua, yang hampir menemui ajalnya. Seluruh anggota keluarganya juga tahu bahwa ia sudah tidak ada harapan lagi, maka mereka mengundang pendeta Buddha untuk mendoakannya, agar bisa berpulang dengan tenang dan ikhlas. Tetapi setelah didatangkan tiga pendeta berturut-turut melakukan berbagai ritual, tetap saja tidak bisa membuat nenek tua itu berpulang.

Akhirnya, salah satu putri nenek itu yang baru saja tiba dari luar kota, berkata kepada ibunya, “Ibu, apakah rice cooker yang dulu Ibu beli itu masih disimpan?” Putri itu melihat di sudut mata ibunya mengeluarkan air mata. Ia lalu melanjutkan, “Harap Ibu bisa merelakannya, saya tahu rice cooker itu diletakkan dimana, saya akan meminta kakak agar menggunakan rice cooker itu.”

Begitu putrinya selesai berbicara, nenek tua tersebut segera menghembuskan napas terakhirnya. Di kemudian hari, anak dan cucu-cucunya menjadikan hal tersebut sebagai gurauan bahwa tiga pendeta Buddha tidak mampu melawan sebuah rice cooker.

Awal era 80-an rice cooker di daerah kami sangat populer. Nenek tua itu hidup berhemat dengan susah payah untuk membeli sebuah rice cooker. Namun setelah dibeli, ia merasa sayang menggunakannya, sehingga akhirnya disimpan di tempat rahasia. Saat akan menghembuskan napas terakhir, ia teringat belum menyerahkan rice cooker itu sehingga menyebabkan ia tidak rela pergi. Maka tidak peduli bagaimana pendeta Buddha itu mendoakannya, tetap saja tidak bisa melepaskan keterikatan nenek tua itu.

Dalam kurun waktu setengah tahun ini, ada dua orang teman saya melakukan bunuh diri. membuat para kerabat terperanjat. Salah seorang teman itu, profesor di sebuah universitas. Sebenarnya dia memiliki keluarga yang bahagia, penghasilannya juga tinggi, dan sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Selain itu, tiap tahun ia mendapat bantuan finansial dari lembaga riset negara.

Studi yang diambilnya bidang psikologi anak, dari sini bisa diketahui bahwa dia seorang yang penuh belas kasih dan perhatian, selain itu dalam segala bidang dia sangat menonjol. Yang tak habis pikir, demi mempertahankan reputasinya, dia nekat melakukan gantung diri di ruang risetnya, membuat orang-orang sangat tidak memahami keputusannya.

Sejak kecil, saya telah menjadi anak yatim, dan Ibu tidak mempunyai sumber penghasilan tetap, sehingga banyak menumpuk hutang. Saat berusia 45 tahun, saya baru bisa melunasi semua uang pinjaman itu. Namun sayangnya, setelah mempunyai sedikit simpanan, saya tergila-gila pada benda seni. Saat mata terbuka, langsung berburu benda seni apa saja yang patut dikoleksi. Lambat laun rumah saya penuh sesak, sehingga berjalan pun tidak leluasa, membuat istri dan anak-anak mengeluh.

Seorang murid saya bahkan memberikan nasihat, “Terbenam dalam hobi akan melemahkan tekad untuk maju, jangan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga ini.” Tetapi nasihat baik itu seringkali tidak enak didengar, saat keterikatan sudah menguasai hati, mana bisa mendengarkan nasihat baik itu? Keterikatan hati membuat saya kehilangan arah kehidupan.

Uniknya, keterikatan ini juga bisa membuat hewan kehilangan arah hidup. Ada seorang psikolog mengadakan sebuah eksperimen dengan memelihara sekelompok tikus putih dalam laboratoriumnya. Sejak awal masa pertumbuhan, tikus-tikus itu tidak dibiarkan makan kenyang. Ketika tikus tersebut tumbuh dewasa, peneliti ini menanamkan sebuah chip dalam otak mereka, kemudian dialiri listrik untuk diamati reaksinya.

Seperti praduga sebelumnya, kelompok tikus tersebut berusaha keras mencari simpanan makanan yang ada di dalam ruangan itu. Usaha keras tikus-tikus itu tidak berhubungan dengan sakit kepala akibat sengatan listrik. Pengalaman kelaparan selama masa pertumbuhan, membuat sekelompok tikus tersebut timbul keterikatan terhadap makanan, dan keterikatan tersebut justru membuat mereka kehilangan arah untuk berusaha.

Jika demikian, maka keterikatan itu bisa membuat orang ingin mati tidak bisa, ingin hidup pun tidak bisa, kehilangan tujuan, kehilangan kebebasan dalam keseluruhan hidupnya.

Ada orang yang mengatakan, “Semasa hidup terikat oleh pakaian, setelah mati terkurung dalam peti mati, betapa tidak bebasnya kehidupan ini?” Seorang biksu masih harus memangkas habis tiga ribu rambut kerisauan, mencari kebebasan jiwa. Sebenarnya keterikatan semacam ini adalah batasan dalam bentuk fisik, sedang yang benar-benar membuat kita tidak bisa datang dan pergi leluasa, hidup bebas dan nyaman itu, adalah berbagai macam keterikatan di hati.

Dilihat dari arti kata dalam bahasa Tionghoa, kata keterikatan atau Zhi Zhuo (執著) bermakna, Zhi (執) itu berarti arah atau tujuan yang berusaha untuk dikejar, Zhuo (著) itu artinya tetap. Jika digabungkan kata-kata ini berarti keterikatan manusia yang terlalu peduli terhadap nama, keuntungan, perasaan (Qing) dan kehidupan ini, sehingga terbelenggu dan terikat. Ambil sebuah contoh, tuntutan anak muda terhadap percintaan, acapkali bisa menimbulkan keterikatan. Tidak akan menikah kalau bukan dia, tidak akan dinikahi jika bukan dia. Kalau demikian halnya, maka ia akan kehilangan kebebasan untuk memilih pasangan hidup.

Dilihat dari sudut pandang lain, keterikatan itu mungkin juga sebuah produk untuk “meninggalkan kebebasan”. Erich Fromm, ahli psikologi dari Barat, buku pertama yang membuatnya terkenal berjudul Escape from Freedom (Meninggalkan Kebebasan).

Pada awal saya membaca buku tersebut merasa takjub. Pepatah mengatakan, “Walau ketulusan dalam cinta itu sangat berharga, tetapi nilai nyawa itu lebih tinggi, jika hanya demi kebebasan saja, maka kedua-duanya boleh dicampakkan!”

Pada umumnya manusia menilai kebebasan itu sangat berharga, lalu mengapa Erich Fromm menulis buku tersebut? Setelah saya baca dengan saksama baru mengerti. Ternyata kebebasan itu bagi orang yang kejiwaannya kurang matang, adalah sebuah beban yang teramat berat, meninggalkan kebebasan berarti menghindari beban yang menyengsarakan.

Saya ambil sebuah contoh yang sederhana. Saya tergolong orang yang sangat tidak mementingkan cara berpakaian, maka dua buah kemeja berlengan pendek, dua buah celana dan sepasang sepatu sudah cukup untuk melewatkan selama satu musim panas. Tidak peduli dalam pesta pernikahan, pertemuan, kantor atau berekreasi, selamanya mengenakan setelan pakaian yang sama. Saya merasa dengan demikian sangat leluasa, keluar rumah tidak perlu ribut memilih pakaian!

Dilihat dari permukaan, sebenarnya adalah demikian, namun sesungguhnya di dalam hati masih ada kepedihan yang tidak bisa diutarakan. Ketika berjalan-jalan seorang diri di pertokoan, melihat beraneka ragam pakaian di estalase, sangat sulit buat saya untuk memutuskan baju mana yang harus saya beli! Takut terlalu vulgar atau tidak cocok dengan setelannya. Maka itu setiap kali pergi belanja, selalu mengajak sanak keluarga, untuk memilihkan baju buat saya. Akhirnya saya meninggalkan kebebasan untuk memilih pakaian.

Menurut yang dikatakan Erich Fromm, masyarakat umum dapat meninggalkan kebebasan dengan cara “meyakini suatu paham, menurut terhadap pemimpin, bernaung di dalam partai”. Ambil contoh pada masa PD II, rakyat Jerman sangat memercayai Hitler sebagai pimpinan yang bijaksana, maka tidak perlu menganalisa pemikiran dan keputusan yang diambil Hitler lebih lanjut, dengan kejam dan brutal membunuh 6 juta orang Yahudi.

Tentunya seorang tentara ketika berhadapan dengan musuh, harus menghadapi pertempuran hidup atau mati, tidak ada kebebasan untuk memilih. Tetapi terhadap rakyat jelata yang tidak bersenjata, tentara mutlak mempunyai kebebasan untuk memutuskan hidup dan matinya para korban. Namun sungguh disayangkan, banyak orang menggunakan aturan “patuh pada perintah adalah kewajiban seorang tentara” sebagai alasan, tidak mempedulikan jeritan pedih dari orang-orang yang tidak berdosa, melakukan invasi militer dan melakukan pembantaian berdarah selama delapan tahun lamanya. Kata “patuh” telah berubah menjadi semacam bentuk keterikatan yang lain.

Kesimpulannya, keterikatan menyebabkan manusia kehilangan arah, kehilangan kebebasan. Di sisi lain, kurangnya taraf kecakapan manusia, juga bisa menyebabkan manusia meninggalkan kebebasan. Maka jika seseorang ingin memiliki kebebasan yang paling maksimal, hanya bisa dengan cara berusaha keras menyingkirkan keterikatan terhadap nama, keuntungan dan perasaan (Qing). Disamping itu berusaha keras memupuk taraf kecakapan kemanusia, sehingga tidak perlu lagi meninggalkan kebebasan. (Huang Jinyuan / The Epoch Times / lin)

MENGELOLA KEHIDUPAN


Suatu hari anak saya berkata, “Setiap kali ada murid yang mengadu, guru selalu mengatakan, tidak ada masalah, ini urusan kecil, jika dua orang saling berjabatan tangan, maka mereka masih berteman baik. Namun masalah sebenarnya sama sekali belum terselesaikan, hanya merupakan penyelesaian sementara. Si guru enggan dipusingkan dengan masalah.”

Ucapannya sungguh mengejutkan saya, ternyata kehidupan ini masih membutuhkan sedikit kecerdasan untuk mengelola sesuatu. Bila ingin menjadi pelajar yang baik, harus mengasah otak dalam mengikuti pelajaran maupun dalam berperilaku. Begitu juga untuk menjadi orang tua yang mampu memahami suara hati anak.

Sebagai anak, juga dibutuhkan untuk berpikir mencari cara bagaimana bisa menyenangkan atau menjaga nama baik orang tua. Begitu pula dalam berinteraksi dan bernegosiasi dengan orang lain bagaimana cara agar dapat saling menguntungkan kedua belah pihak, bagaimana cara berteman agar tidak sampai salah jalan, bagaimana cara membujuk pacar atau isteri, semua memerlukan kecerdasan tersendiri. Jika Anda menginginkan kehidupan yang sempurna, perbanyaklah hal-hal yang memerlukan kepintaran mengasah otak.

Asalkan Anda mau melihat, maka Anda akan melihat bagian yang lebih mendalam, yaitu suka duka orang lain. Asalkan Anda mau mendengar, Anda akan menyadari penderitaan dan kegembiraan orang lain. Asalkan mau bertanya, Anda akan memahami berbagai macam pengetahuan baru dan menemukan berbagai cerita kehidupan. Asalkan Anda mau menggunakan kaki dan tangan, maka akan timbul kekuatan yang lebih besar, yang dapat mendatangkan cahaya dan kehangatan. Asal Anda mau mencoba untuk mengasah otak, maka tidak akan mengalami penyesalan dalam hidup ini.

Sebuah kalimat berbunyi, ‘Tidak ada makan siang gratis di dunia ini’. Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tidak bisa hanya mengandalkan nasib saja. Setiap hari langkah yang diambil harus dipikirkan dengan matang, dikelola dengan sepenuh hati baru, agar dapat mendapatkan apa yang kita inginkan.

Misalnya seperti dalam kebudayaan seni musik yang menghasilkan Mozart yang luar biasa, atau bahkan sepasang suami istri yang bergandengan mesra berjalan di sebuah taman, atau sebuah maha karya yang sedang menjadi buah bibir masyarakat, sebuah lukisan ternama yang berusia ribuan tahun, sekeping medali emas Olimpiade yang menjadi kemuliaan, semua ini adalah hasil tempaan dan gemblengan bertubi-tubi, ditukar dengan jerih payah dan ketekunan kita dalam menanam dan menyirami. Di belakang keberhasilan semua tokoh-tokoh besar tersebut, mereka juga banyak mengalami saat-saat sulit.

Meskipun anak kecil mengucapkan kalimat yang kekanakan, sebenarnya terkadang apa yang mereka ucapkan singkat dan tepat sasaran. Sepatah kata saja sudah bisa memecahkan wejangan kehidupan. Sebenarnya mereka bersikap serius dalam menghadapi kehidupan, sebagai orang dewasa mana boleh berpura-pura tidak melihatnya. Selalu berdalih “mengikuti nasib” sebagai alasan menutupi kemalasan dan menipu diri sendiri, kita harus lebih banyak menggunakan akal budi untuk berpikir, dengan demikian kita dapat melewati pergaulan dalam masyarakat, bahkan kehidupan kita, baru bisa dilewatkan dengan sempurna. (Bao Zi Lin / The Epoch Times / lin)

TEGURAN KERAS JUGA SUATU KEBAHAGIAAN


Ada seorang pertapa yang tinggal di sebuah hutan yang sunyi dan jarang dikunjungi orang. Setiap hari ia rajin mematut diri dan bersamadi di bawah pohon besar.

Suatu hari ketika bersamadhi ia merasa mengantuk. Untuk menghalau rasa kantuk, ia berjalan-jalan di dalam hutan. Tanpa sengaja ia sampai di pinggir kolam teratai dan melihat bunga teratai di kolam sedang bermekaran, sungguh indah!

Dalam hati sang pertapa berpikir, “Jika saya petik sekuntum bunga teratai yang sangat indah ini dan membawanya serta, maka aroma semerbaknya pasti bisa membuat semangat lebih baik!”

Ia kemudian membungkukkan tubuhnya dan memetik sekuntum bunga teratai yang paling indah. Namun ketika hendak meninggalkan kolam itu, tiba-tiba terdengar suara berat dan menggelegar, “Siapa yang berani mencuri bunga teratai saya!”

Pertapa itu melihat ke sekeliling dan tidak menemukan siapa pun. Ia kemudian menengadah ke langit dan bertanya,“Siapakah Anda? Mengapa mengatakan bunga-bunga teratai tersebut milik Anda?”

“Saya Dewa kolam teratai ini. Semua bunga teratai di hutan ini milik saya, percuma saja Anda seorang pertapa namun telah mencuri bunga teratai saya. Pikiran tamak Anda telah timbul tapi masih tidak mau mawas diri dan merasa malu, malah beraninya Anda menanyakan apakah bunga-bunga teratai tersebut milik saya!” tegur suara dari atas langit.

Dalam hati pertapa timbul rasa malu yang mendalam. Ia lalu bersujud ke langit dan mengutarakan penyesalannya, ”Dewa kolam bunga teratai, saya menyadari kesalahan yang telah saya lakukan. Mulai saat ini, saya akan sungguh-sungguh membenahi semua kesalahan saya, mutlak tidak akan mengambil benda apapun yang bukan milik saya.”

Ketika sang pertapa masih merenungi kesalahannya, ia melihat seorang pria yang berjalan ke arah kolam. Pria tersebut bergumam, “Lihat! Betapa segarnya bunga-bunga teratai ini, saya harus memetiknya untuk dijual di pasar, agar dapat sedikit uang untuk pengganti kekalahan sehabis main judi kemarin!”

Selesai berkata, orang itu lalu melompat masuk ke kolam, menginjak sana sini, dan membabat habis seluruh bunga teratai di kolam. Daun bunga teratai robek terinjak-injak hingga banyak yang patah, lumpur di dasar kolam juga teraduk ke atas, kolam jadi rusak berantakan. Dengan membawa seikat besar bunga teratai, pria tersebut pergi sambil tertawa puas.

Sang pertapa berharap Dewa Kolam Teratai bisa menampakkan diri untuk menegur atau menghukum orang yang memetik bunga-bunga teratai tersebut. Namun suasana kolam sunyi senyap.

Dengan penuh kebimbangan si petapa menghadap ke langit dan bertanya, “Oh Dewa Kolam Bunga Teratai! Saya hanya memetik sekuntum bunga teratai dengan kerendahan hati dan penuh kekaguman, Anda sudah mencela saya dengan keras. Namun pria itu memetik semua bunga teratai Anda dan merusak kolam, lalu mengapa sepatah katapun Anda tidak menegurnya?

Dewa menjawab,“Pada dasarnya Anda seorang pertapa. Bagaikan sehelai kain putih, ternodai sedikit saja sudah sangat jelas terlihat, maka saya baru memperingatkan Anda, untuk cepat-cepat membersihkan tempat yang ternoda agar kembali bersih dan murni.”

“Namun pria itu pada dasarnya seorang berandalan, seperti sebuah kain lap yang kotor, bila ditambah lagi dengan kotoran yang lain juga tidak apa-apa. Saya tidak bisa memberikan bantuan apa-apa kepadanya, hanya bisa membiarkan dia menerima hukuman karma dari perbuatan jahatnya, maka saya hanya berdiam diri.”

“Anda jangan mengeluh kepada saya, seharusnya Anda merasa senang karena kekurangan Anda masih bisa terlihat oleh orang lain. Saat melihat kekurangan Anda masih ada yang mau membimbing dan membetulkannya, hal tersebut menandakan bahwa kain Anda masih putih, patut selalu dicuci bersih, ini merupakan suatu hal yang patut Anda syukuri!”

Bilamana langit tampak paling indah? Yakni saat kerumunan awan putih bersih melintas di langit. Warna putih awan telah merefleksikan birunya langit. Jika awan terlalu banyak, langit akan terkesan kacau, dan jika awan terlalu luas, maka langit terkesan sempit.

Oleh karena itu saat terindah langit, juga merupakan saat terindah bagi awan itu sendiri.

Sedangkan saat yang paling indah bagi manusia, adalah saat manusia bisa mempertahankan kesadaran!

Di dalam kesadaran yang kelihatannya seperti tidak lancar dan membuat orang merasa putus asa dan malu, mungkin di dalamnya tersembunyi kebahagiaan sebenarnya yang kita harapkan dan dambakan!. (The Epoch Times / lin)

HUKUM ALAM TIDAK BERJALAN MUNDUR

Karena ini adalah catatan harian, sebenarnya judul bukan sesuatu yang punya arti apapun. Apa yang tercatat dalam tulisan inilah yang paling punya arti bagi catatan pengalaman batin saya.

Tadi siang saya ke bengkel sepeda motor. Kecuali servis rutin juga ada yang saya keluhkan secara khusus yaitu suara yang mengganggu kenyaman saya waktu motor saya kendarai di jalan yang banyak lubang. Tentu maksud saya adalah jalan yang rusak. Karena saya bukan ahli dalam hal memperbaiki sepeda motor tetapi ingin menikmati berkendaraan dengan motor yang sudah bukan baru lagi itu, tidak ada cara lain kecuali ke bengkel ahlinya.

Sementara saya menunggu giliran motor saya ditangani, saya berbicara dengan seseorang yang berkepentingan sama dengan saya. Kebanyakan orang punya naluri yang sama, yaitu mudah akrab ketika mempunyai kepentingan yang sama. Demikian juga saya dengan orang ini. Tanpa saling mengenal sebelumnya, bahkan tahu nama masing-masing sekalipun, kami sudah bisa ngobrol dengan santainya. Tentu tentang motor yang bermasalah.

Berikut sebagian percakapan kami yang punya kesan khusus:

Dia: “Padahal motor saya masih terhitung baru lho pak. 2009 lho”.

Saya: “Servisnya juga rajin?”

Dia: “Who… terasa kurang enak sedikit saja langsung saya bawa ke sini”.

Saya: “Jadi baikkah kemudian?”

Dia: “Sepertinya nggak mungkin kembali seperti semula”.

Saya: “Sekalipun semua sudah diganti?”

Dia: “Ya. Kecuali ganti STNK dan BPKB-nya…..”, dia tertawa dan saya mengerti maksudnya, yaitu beli sepeda motor baru.

**************

Mekanik: “Sudah pak (maksudnya perbaikan sudah selesai dilakukan), tapi tidak bisa kembali seperti baru, paling tidak lebih baik dari tadi lah…..”.

Dia: “Ya…… tidak apa-apa, saya mengerti,” kelihatannya dia seorang sosok yang bijak.

**************

Akhirnya sepeda motor saya selesai juga. Saya langsung pulang. Dari percakapan di bengkel tadi saat saya melewati jalan rusak yang harus saya lewati tanpa ada pilihan lain, saya ingat lagi bincang-bincang santai itu. Jalan ini entah berapa kali telah diperbaiki. Tetapi rasanya bukan semakin baik tetapi semakin parah.

Perjalanan saya terhenti karena ada iring-iringan pengantar jenazah. Ekspresi mereka berbeda-beda. Ada yang bergurau, ada yang berbincang serius entah tentang apa, tetapi juga ada yang menangis sambil menggendong anaknya. Yang terakhir saya sebut ini pastilah keluarga si jenazah.

**************

Saya tidak mengerti, mengapa hari ini saya begitu sensitif pada beberapa hal yang saya temui. Sepeda motor yang tidak mungkin kembali seperti baru walaupun diperbaiki, jalan yang semakin rusak walaupun berulangkali diperbaiki, jenasah dan ibu yang menangis dengan anak di gendongannya.

Saya ingat konsep tentang alam semesta yang saya baca dalam buku karangan Mr. Li Hongzhi yang berjudul ‘Zhuan Falun’: ‘lahir-tua-sakit-mati’ dan ‘terbentuk-bertahan-rusak-musnah’. Terbersit di benak saya sebuah pesimisme yang mendebarkan hati. Segala sesuatu akan musnah setelah tiba waktunya. Memperbaiki hanyalah sebuah upaya memperpanjang fase ‘bertahan’ menuju ke’musnah’an atau bagi manusia sebagai individu cuma memperpanjang masa ‘tua dan sakit’ sebelum ke’mati’annya. Sebuah upaya sia-sia. Kenistayaan yang sia-sia. Lalu pertanda apakah semua kejadian yang kini sedang berlangsung di seluruh dunia? (The Epoch Times)

RASA BAHAGIA HANYALAH PERASAAN SESAAT


Kebahagiaan memang sulit didefinisikan, tetapi nyatanya banyak orang mengejar kebahagiaan.

Mungkin kita bisa mengatakan bahwa kebahagiaan itu ketika pikiran atau hati kita dalam kedamaian. Kalau demikian, artinya kebahagiaan itu dari dalam memancar keluar, bukan sebaliknya.

Bisa juga dikatakan kebahagiaan itu bisa diukur dari seberapa puas kita bisa menikmati kehidupan yang sedang kita jalani.

Ada kolusi dalam perasaan bahagia sesaat yang terbentuk dari pengalaman pribadi. Misal betapa singkatnya rasa bahagia itu ketika kita baru saja memperoleh pekerjaan, atau ketika baru saja membayar uang muka sepeda motor, atau ketika baru saja mendapat kenaikan gaji, atau baru saja kita disanjung orang karena kita melakukan sesuatu yang menguntungkannya.

Kebaha-gian seperti itu akan cepat sekali berlalu. Ketika baru saja memperoleh pekerjaan, sesaat kemudian mungkin saja mengeluh karena banyaknya masalah atau tugas yang harus diselesaikan. Ketika baru saja membayar uang muka sepeda motor, akan disusul dengan memikirkan angsurannya. Ketika baru saja gaji kita naik, ternyata terasa kebutuhan meningkat dan gaji tak cukup lagi. Ketika kita disanjung orang, dengan cepat akhirnya akan dilupakan lagi. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah saat kita sedang mengharapkan sesuatu.

Ketika ‘sesuatu’ itu telah menjadi kenyataan, kebahagiaan itu lewat begitu saja. Kemudian kita menciptakan harapan-harapan baru yang membawa kebahagiaan baru yang lain.

Berikut ini hal yang umum merupakan kolusi perasaan bahagia:

Kalau saja saya punya uang lebih banyak saya akan bahagia;

Kalau saja saya lebih terkenal saya akan bahagia;

Kalau saja saya punya banyak teman saya akan bahagia;

Kalau saja dunia adalah tempat yang lebih baik, maka saya akan bahagia.

Mungkin saja Anda mempunyai pengalaman yang lain dalam menemukan kebahagiaan. Lalu apa manfaat kebahagiaan?

Ketika kita memiliki kontrol yang lebih baik terhadap perasaan bahagia maka:

Kita merasa baik. Kita ungkapkan dengan sukacita, bersorak, ada kedamaian dan kepuasan;

Kita senang dengan siapa diri kita dan apa yang sedang atau telah kita lakukan;

Orang akan merasa nyaman berada di dekat Anda;

Kita memiliki harga diri yang lebih tinggi;

Hidup kita secara fisik meningkat;

Kita dapat lebih mudah memecahkan masalah yang mungkin timbul;

Kita memiliki energi tambahan;

Kehidupan kita akan meningkat dalam segala hal;

Kita akan memiliki kehidupan terbaik yang bisa kita bayangkan – Kita orang yang bahagia!

Sebaliknya, ketidakbahagiaan atau keputusasaan akan berakibat:

Kita gagal memecahkan masalah yang muncul;

Bahkan seringkali menciptakan masalah baru;

Menciptakan jarak dengan orang lain;

Membuat kita merasa marah, kesepian dan kebencian.

Jika kita tidak bisa mengontrol perasaan bahagia kita, tidak ada manfaat positif dari perasaan bahagia itu, akhirnya hanya akan menghancurkan hidup kita. Jadi benar adanya, uang tidak menentukan kita bahagia atau tidak bahagia. (Avediana/ dikutip dari berbagai sumber)

GELAP TERANG KEHIDUPAN


“SARK: PULAU BERLANGIT GELAP PERTAMA DI DUNIA.” Begitulah judul sebuah artikel di situs Epochtimes.co.id yang terbit Sabtu, 26 Febuari 2011. Setiap tahunnya, pulau ini telah menarik 40.000 wisatawan untuk belajar tentang sejarah dan budaya, di mana pengalaman demikian terasa bagaikan melangkah mundur ke masa yang jauh lampau.

Begitu yang tertulis di bagian akhir artikel ini. Setelah membaca artikel itu saya mematikan semua lampu di rumah. Lalu saya membayangkan suasana di pulau berlangit gelap. Ternyata, saya bahkan dapat melihat banyak hal yang selama ini luput dari perhatian.

Saya kira siapa pun setuju, kata ‘gelap’ memiliki beberapa konotasi sesuai dengan konteksnya. Tetapi sayang umumnya lebih banyak konotasi negatifnya. Misalnya, ‘anak itu menangis karena takut pada kegelapan.’ Atau, ‘sayang anak yang datang dari keluarga baik-baik terjerumus di dunia gelap.’ Atau, ‘mengapa gajinya sudah besar kok masih menggelapkan uang rakyat’. Banyak lagi contoh yang mengonotasikan ‘gelap’ pada hal-hal yang negatif. Mengapa di tempat yang gelap ini malah membuatku melihat kehidupan ini menjadi semakin terang? Ada konotasi positif yang saya rasakan.

Saya sengaja mengingat-ingat ketika saya berada di tempat terang beberapa jam yang baru lalu. Ketika saya melewati sebuah taman kota yang terang benderang, dan terhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, saya melihat sepasang remaja (mungkin lebih tepatnya anak-anak) bermesraan di tempat yang sedemikian terang seolah di tempat yang gelap. Mungkin dianggapnya orang yang lalu lalang di depannya buta semua. Saya berani bertaruh semua yang sempat melihatnya – termasuk saya, dan yang pura-pura tidak melihat – sedang berjalan menuju kegelapan.

Saya juga memiliki pertanyaan lagi yang tentunya tanpa jawaban. Saya ingat di warnet yang terletak di sudut perempatan itu, ketika segerombolan anak-anak sekolah saling berebut tempat bermain di ruang-ruang bersekat. Konon banyak hal kurang baik – selain yang baik - yang mereka lakukan di tempat-tempat seperti itu. Sisi terang dan gelap seperti wajah sekeping uang logam, yang keduanya tak dapat dipisahkan.

Kemudian, saya nyalakan lagi lampu dan televisi. Dan pas saat itu televisi menayangkan acara diskusi interaktif kalangan terhormat yang hidupnya berstatus terang benderang, karena ekonominya yang mapan, pendidikannya yang tinggi, statusnya yang ‘pasti’, bahkan posisinya di pemerintahan yang sangat ‘menentukan’.

Tetapi betapa sangat mengecewakan. Mereka saling tunjuk seperti di pasar ikan. Bahkan mengucapkan kata-kata yang saling ‘menggelapkan’ satu sama lain. Tentu hal ini membuatku seperti masuk dalam ‘kegelapan’ yang mereka sajikan. Karena diskusinya sama sekali tidak membuat ‘terang’ terhadap masalah ‘gelap’ yang seharusnya mereka buat ‘terang’.

Saat itu saya tidak mengerti di mana saya berada, di tempat yang terang atau gelapkah.

Kembali saya ingat pulau Sark yang dibuat gelap. Mengapa 40.000 wisatawan itu belajar di tempat yang gelap? Apakah yang mereka dapat dari belajar di sana? Belajar budaya di tempat yang gelap. Apakah di tempat yang terang tidak memberi jawaban budaya yang mereka butuhkan? Budaya di tempat gelap dan budaya di tempat terang? Mungkinkah mereka ingin kembali ke tempat yang gelap?

Mungkin Anda juga bisa bertanya di antara gelap dan terang, manakah yang merupakan sebuah kemajuan? Ataukah saya sedang mengada-ada dengan membenturkan kata ‘gelap’ dan ‘terang’. Tetapi memang bagi saya keduanya semakin tidak jelas, sekalipun saya mencoba melihatnya dengan sudut pandang berbeda. (Boediono / The Epoch Times)

5 HADIAH TERBAIK UNTUK KELUARGA ANDA


Ketika kita berpikir untuk memberi hadiah, biasanya kita memikirkan apa yang mau dibeli. Namun jika Anda diajak mengingat kembali hadiah yang pernah Anda terima, mungkin yang paling Anda ingat bukanlah hadiah berbentuk materi — namun bisa jadi jenis hadiah yang sangat menyentuh hati dan jiwa. Bisa dalam berbagai bentuk, selain hal-hal materi, yang menunjukkan orang-orang menyatakan cinta mereka kepada Anda.

Ada lima hadiah cinta yang bisa kita berikan kepada keluarga yang dapat membuat perbedaan besar dalam hidup mereka:

1. MEMBERI PERHATIAN DAN KASIH SAYANG

Kita semua ingin diperhatikan, namun banyak dari kita yang tidak memberi perhatian dan kasih sayang untuk orang lain. Kenangan terindah yang bisa diberikan kepada orang yang kita cintai adalah mendengarkan dengan sepenuh hati, untuk memahami dan menerima, bukannya menghakimi, dan untuk bersikap terbuka, bukannya takut disakiti.

Pikirkan tentang seseorang yang terakhir kali benar-benar mendengarkan Anda dan memberi Anda pemahaman dan penerimaan. Perasaan dipahami dan diterima dengan penuh perhatian dan kasih sayang adalah salah satu perasaan terbaik di dunia. Daripada mencurahkan upaya agar diperhatikan orang lain, mengapa tidak mencurahkan upaya untuk memberikan orang lain? Anda mungkin akan terkejut betapa indah rasanya ketika Anda bisa memberikan hadiah ini pada keluarga Anda.

2. MEMBERI KEBERANIAN

Salah satu hadiah terbaik yang dapat kita berikan kepada orang-orang terdekat adalah keberanian kita sendiri. Ini artinya memiliki keberanian untuk berdiri di sisi yang menurut kita benar, untuk bersikap jujur tentang apa yang kita inginkan dan tidak inginkan, apa yang akan kita lakukan dan tidak akan lakukan, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa kita terima. Artinya memiliki keberanian untuk mengendalikan diri kita, walau jika orang lain tidak menyenanginya. Ini berarti menolak perilaku yang mengendalikan kita yang berasal dari rasa takut akan: kemarahan, penolakan, perlawanan, namun sebaliknya berusaha jujur dan mengendalikan diri. Ini artinya bersedia untuk menghadapi konflik dan bukannya melarikan diri dari masalah.

Ketika kita memiliki keberanian untuk menghadapi konflik dan mengatakan yang sebenarnya, kita tidak hanya memberikan teladan keberanian pada keluarga, namun kita memberikan kesempatan bagi orang yang kita cintai untuk melangkah menghadapi kebenaran dan belajar untuk menjadi berani.

3. MEMBERI BANTUAN

Kita hidup di bumi untuk belajar mencintai diri sendiri dan sesama, serta membantu satu sama lain. Salah satu hadiah terbaik yang dapat kita berikan kepada keluarga adalah peran melayani. Membantu orang lain mengisi hati dan jiwa dengan cara yang tidak biasa. Jika anak-anak tidak pernah melihat orangtua mereka melayani dan membantu orang lain, mereka mungkin tidak pernah bisa merasakan kebahagian dan pencapaian yang berasal dari memberi. Salah satu hadiah terbaik yang dapat kita berikan kepada keluarga adalah untuk menunjukkan bagaimana melayani dan membantu.

4. MEMBERI KREATIVITAS

Kita semua dilahirkan dengan berbagai cara untuk mengekspresikan kreativitas. Mengekspresikan kreativitas adalah cara mendalam untuk berhubungan dengan jiwa, karena kreativitas merupakan ekspresi langsung dari jiwa. Memberikan keluarga Anda dengan banyak cara untuk mengekspresikan kreativitas mereka adalah hadiah yang besar. Kreativitas dapat diekspresikan dalam begitu banyak cara — memasak, kerajinan, membangun sesuatu, musik, seni, jalan-jalan, bercerita, menulis, humor, fotografi dan video — kemungkinannya tak terbatas! Proyek keluarga yang kreatif sesungguhnya luar biasa dalam membangun kedekatan keluarga.

5. MEMBERI KEGEMBIRAAN

Berbagi adalah hadiah terbaik untuk diberikan kepada orang lain. Berbagi adalah sesuatu yang menular — tawa dan canda dapat membantu orang lain mengurangi kemurungan dan kehampaan, dan merasa bersemangat kembali.

Ketika kita bisa berbagi, kita merasakan ketulusan yang luar biasa, ketulusan yang timbul dari keinginan tulus dalam memberi. Ketulusan kita dapat membawa penerangan bagi seluruh keluarga. Anak-anak menyukainya ketika orangtua mereka riang, romantis, dan menyenangkan. Canda tawa dalam keluarga adalah salah satu pengalaman paling berharga dalam hidup.

Kita harus berupaya memberikan hadiah-hadiah ini setiap hari, bukan hanya selama musim liburan atau pada acara khusus. Hadiah ini jauh lebih penting daripada hal materi yang kita beli untuk seseorang. Bahkan, kita mungkin tidak begitu terfokus pada hadiah materi jika kita sering memberikan hadiah cinta — kepedulian, kasih sayang, keberanian, pelayanan, kreativitas, dan ketulusan. (Monica M. Song / Secret China / val)

Tentang Pengarang: Margaret Paul, Ph.D. adalah penulis terlaris sekaligus penulis delapan buku, termasuk “Do I Have To Give Up Me To Be Loved By You?”

MEMULAI KEHIDUPAN BARU


Seorang teman menceritakan sebuah lelucon: Ada seorang anak perempuan yang sejak kecil mendapat pendidikan di sekolah elit. Suatu hari dia datang ke sebuah kelas di sebuah sekolah negeri. Dia berkata dengan kagum, “Di sekolah kalian ini enak sekali! Ada kipas anginnya, tidak seperti ruangan kelas kami hanya ber-AC, membuat saya jadi kedinginan!”

Ucapan polos anak kecil memang bisa membuat orang tersenyum, tetapi selain itu mengandung cukup banyak keluh kesah. Dalam kepolosan ucapan seorang anak sama sekali tidak ada yang ditutupi, apa yang dikatakan mereka itu adalah kenyataan, tetapi juga telah menunjukkan masalah dalam pendidikan.

Sejak dilahirkan, orangtua akan berusaha segenap tenaga untuk memberikan yang terbaik kepada anak mereka, ingin kelak menjadi orang berguna. Agar tidak kalah dengan anak lain di tempat start berlari, kebanyakan orang tua berusaha sekuat tenaga mencari uang, membangun sebuah surga dunia bagi anak mereka. Karena itu, anak-anak polos yang berada dalam naungan dan perlindungan orang tua, akan menjadikan banyak hal sebagai suatu kewajaran.

Terhadap materi yang berlimpah dan mudah didapat, ia tidak akan tahu bagaimana menyayanginya. Bila langit runtuh, ada orang tua yang menahan, bila membuat masalah, masih ada orang tua yang diandalkan. Dalam kegemerlapan dunia yang dibangun dengan cermat, hanya ada warna-warni kegemilangan, tidak ada gelombang badai yang mengejutkan juga tidak ada tantangan cobaan dan kesulitan. Ketika mereka terjun ke dalam masyarakat, maka tragedi menyedihkan akan mulai menimpa sekali dan sekali lagi. Karena kelalaian dan sikap acuh, orang tua juga akan mengalami penyesalan yang sama berulang kali.

Cara mendidik anak yang menyimpang, membuat anak tersebut setelah tumbuh dewasa seperti sebuah pohon yang tumbuh miring, setiap saat bisa tumbang dan ditimpa malapetaka atau mati muda. Ketika kita hanya memberikan anak dengan uang dan materi dalam jangka waktu panjang, dan tidak rela menghabiskan waktu untuk menemani anak, mendengarkan suara hati anak, perhatian terhadap perasaan anak, hingga pada suatu hari ketika kita sudah berusia lanjut, anak-anak kita juga sama seperti kita dulu dengan uang saja memasok kita, tidak ada waktu menemani dan mendengarkan suara hati kita, perhatian terhadap perasaan kita. Jika saat itu baru mengeluhkan mengapa kehidupan ini tidak bisa diulang sekali lagi, bukankah sudah terlambat!

Menarik pelajaran dari kesalahan terdahulu, biarkanlah kita mengambil keputusan tegas sekali lagi atas diri sendiri dan anak-anak kita. Sebenarnya kita harus menyayangi jodoh pertemuan kita bersama anak-anak yang sulit kita dapatkan, karena memiliki anak, baru ada pendidikan antara ayah dan anak. Pendidikan sekali lagi telah memberikan kepada kita kesempatan berharga untuk berkembang, karena itu boleh dikatakan bahwa anak adalah guru bagi kita. Seiring pertumbuhan anak, kita juga terus-menerus belajar dari pengalaman hidup yang baru dan kecerdasan jiwa.

Anak yang polos dan naïf tidak akan mendendam, anak yang polos meletakkan posisi hati pada titik nol, mengosongkan diri sendiri dan belajar dengan serius. Setelah dipikir dengan saksama, kita akan menemukan, sei-ring dengan berlalunya waktu tidak terasa kita sudah berangsur-angsur memikul banyak sekali prasangka, telah memupuk terlalu banyak kesenangan dan ketidak senangan serta rasa nyaman. Semua keterikatan hati yang tidak bisa dilepaskan telah membelenggu pikiran dan tindakan kita.

Mulai hari ini biarkanlah kita semua setiap hari menyambut kehidupan yang baru ini dengan perasaan hati yang baru pula — laksana seorang bayi yang menerima berkah kehidupan dari alam ini, kita akan merasa terkejut bahwa dalam berbagai musim penuh dengan pemandangan indah yang membuat orang melompat kegirangan.

Bila melihat perasaan manusia dengan sebuah hati anak kecil, kita akan menemukan dalam watak hakiki manusia, sebenarnya kebaikan dan kemurnian selalu menyertai kita. Bagaikan selembar kertas putih yang diwarnai dengan kebenaran dan kesetiaan, kita akan menemukan warna yang sangat indah yang dulu tak pernah tampak oleh kita. Biarkanlah sejak awal kita hanya membawa sebuah ketulusan hati, setiap hari memulai kehidupan baru! Belajar dan belajar lagi! (The Epoch Times / lin)

PERNIKAHAN


Ada seorang teman, suaminya seorang warga negara Taiwan, sedangkan dia sendiri berasal dari suatu provinsi di daratan Tiongkok. Setelah menikah, dalam kurun waktu yang cukup panjang, suami isteri itu sering kali bertengkar. Mulai dari makanan dan hobi, kebiasaan dalam rumah, memilih tempat tinggal, hingga bagaimana melewati hari-hari libur. Setelah mereka mempunyai anak, pertengkaran mereka semakin parah.

Tapi beberapa tahun belakangan ini, dia sering kali berkata kepada saya, bahwa dia berangsur-angsur sudah bisa mengimbangi suami dan anaknya, serta bagaimana bersikap terhadap sanak keluarga dari pihak suami. Ada hal-hal tertentu sang suami yang mengambil keputusan, dan dia mematuhi keputusan ini. Ada pula beberapa hal suaminya tahu dia pasti akan mempertahankan pendapat, maka suaminya akan membiarkannya mengambil keputusan itu sendiri.

Sebelum pertengkaran terjadi, keduanya dapat menahan diri dengan menghentikan topik pembicaraan. Demi menjaga keutuhan keluarga, dia belajar memasak, yang akhirnya jatuh cinta dengan ketrampilan itu.

Sebagai teman karibnya selama sepuluh tahun lebih, saya melihatnya dari sosok perempuan yang bertabiat keras dan hidup santai, berangsur-angsur berubah menjadi istri yang baik, tahu bagaimana membawa diri dan mengurus segala hal dalam rumah tangga. Pernikahan itu telah membuatnya matang dan bertanggung jawab. Membuatnya memahami bagaimana mundur selangkah langit luas tiada batasnya, serta lebih banyak memikirkan orang lain.

Anak adalah faktor yang lain. Beberapa tahun setelah dia melahirkan, saya melihat dia menjadi lebih ramah, dari dirinya terpancar kasih sayang seorang ibu, seluruh muridnya juga mengatakan dia telah berubah. Dulu ketika ada jawaban murid yang kurang tepat, dia akan menegurnya dengan kasar. Ketika pekerjaan rumah muridnya kurang bagus, dia akan memarahi sang murid. Kini dia berpandangan para murid merupakan harapan keluarga, jadi seyogyanya kita harus mendidiknya dengan kasih sayang.

Beberapa tahun lalu, ada seorang murid yang bertanya kepada saya, haruskah dia menikah? Dia mengaku sebenarnya tergolong orang yang tidak ingin berkeluarga, tetapi dia melihat kehidupan keluarga saya, dia merasa sedikit kagum, maka hal pernikahan dia pertimbangkan kembali.

Saya berkata kepadanya, orang yang telah menikah akan menyesal, namun orang yang tidak menikah pun juga akan menyesal. Karena setelah menikah terus memikirkan kebebasan ketika masih bujang. Orang yang belum menikah, selalu merasa berkeluarga baru bisa senang dan bahagia, jadi keduanya sama-sama akan menyesal. Saya hanya ingin dia berpikir kembali, jika memang ingin menikah, apakah dia ingin menghayati kehidupan yang lain, rela menerima cobaan yang lain.

Setelah menikah, dia kembali menemui saya. Dia mengaku dirinya telah mengerti mengapa saya mengatakan bahwa pernikahan itu semacam kultivasi. Dia dilahirkan dalam keluarga menengah. Sejak kecil sang ibu selalu menyiapkan segala sesuatunya, waktu kecil tidak pernah melakukan pekerjaan dapur, juga jarang sekali mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebelum menikah, dia bebas menjadi seorang bujang. Kadang kala pulang rumah menemani ayah dan ibu, jarang sekali mengalami hal-hal yang tidak berkenan di hati. Setelah menikah, karena suaminya sangat sibuk, semua pekerjaan rumah dipikulnya sendiri.

Yang menjadi tantangan baginya, sang mertua seringkali bermalam selama beberapa hari di rumahnya.Sehingga harus menyediakan makanan tiga kali sehari, terlebih lagi mereka sangat memperhatikan cita rasa makanan. Sebelum menikah, pulang bekerja adalah waktu milik sendiri. Setelah menikah, waktu pulang bekerja terbagi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, menemani suami, menjaga anak, dan akhirnya waktu yang tersisa sedikit itu barulah untuk pribadi. Dia telah merasakan kesengsaraan ini selama beberapa waktu lamanya, dan sering kali bertanya pada diri sendiri, mengapa harus menikah.

Menurut Anda, apa itu pernikahan? Apakah seperti kisah pangeran dan putri raja yang senantiasa melewati hari-hari bahagia? Tentu bukan demikian. Perkataan yang lebih mendekati kenyataan, seharusnya adalah, sejak saat itu sepasang pengantin tersebut memasuki tahapan percobaan hidup yang lain.

Bahagia tidaknya suatu pernikahan, indah atau tidak, langgeng tidaknya, semua itu tergantung bagaimana kita menyikapi pernikahan. Satu hal yang pasti, membutuhkan toleransi tinggi dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain! (Yang Ren Shou / The Epoch Times / lin)

PAHALA MEMENGARUHI HIDUP MANUSIA

Jika seorang raja dapat memerintah dengan bijaksana, menghormati langit, dan mencintai rakyatnya, maka negeri yang dipimpinnya akan makmur sejahtera dan kuat.

Sebaliknya jika raja tersebut tidak berkebajikan, maka bukan manusia yang akan menggulingkan kekuasaannya, melainkan langit yang akan menumbangkannya, tidak membiarkan dia menjadi bencana bagi negeri itu untuk mencelakai rakyatnya. Ini adalah manifestasi dari perbuatan jahat yang mendapatkan balasan jahat dan perbuatan baik akan mendapatkan balasan baik dari seorang raja didalam suatu dinasti.

Prinsip yang sama juga berlaku pada sebuah marga. Jika anggota keluarga sebuah marga secara turun temurun sangat mementingkan kebajikan, maka anak cucu keturunan marga tersebut juga akan mendapat perlindungan. Marga tersebut akan menjadi sejahtera dan makmur. Jika keluarga tersebut berangsur-angsur meninggalkan tradisi, melanggar moral, tidak berdisiplin, dan melakukan hal-hal yang amoral, maka anggota keluarga dari marga tersebut akan mengalami ketidak beruntungan dan kemerosotan.

Keluarga manakah yang tidak ingin memiliki penerus? Siapakah yang ingin tidak berketurunan? Kemakmuran dan ke-sejahteraan sebuah keluarga bukan ditentukan oleh nasib, melainkan ditentukan oleh perilaku kebajikan diri sendiri. Jika orang tersebut mengumpulkan banyak pahala dengan melakukan kebaikan, bersikap murah hati, berlapang dada, dan memperlakukan orang lain dengan baik, maka sudah pasti langit tidak akan membiarkan orang tersebut tidak berketurunan.

Orang tersebut akan menerima berkah dari langit dengan anak cucu yang makmur dan sejahtera. Nasib tercipta oleh diri sendiri. Balasan sebab akibat dari perbuatan diri sendiri akan dirasakan oleh diri sendiri juga. Jika ingin mengubah nasib harus dimulai dari mengubah diri sendiri, bertobat dan memulai hidup yang baru. Memupuk hati menuju kebaikan dapat mengubah nasib diri sendiri.

Manusia berencana Tuhan yang menentukan. Manusia mengatakan takdir tidak dapat dihindari. Sebenarnya tidak semuanya adalah mutlak. Manusia sangat labil, sifat kejahatan dan kebaikan berada bersamaan dalam diri manusia, hanya melihat manusia memilih yang mana. Jika manusia memilih kebaikan maka akan mendapatkan balasan kebaikan. Jika memilih kejahatan maka akhirnya akan mendapatkan balasan kejahatan.

Hanya saja manusia acapkali hanya melihat keuntungan sesaat yang berada di depan mata dan tidak memikirkan akibat di kemudian hari. Apa yang ditabur itulah yang akan dituai, menabur benih kejahatan mana mungkin mendapatkan buah kebaikan? Sekilas pikiran yang timbul dari hati manusia, segera akan diketahui oleh langit dan bumi. Keluarga yang mengumpulkan kebaikan pasti akan mendapatkan kemakmuran. Keluarga yang mengumpulkan kejahatan pasti akan mendapatkan malapetaka. Langit sangat adil, kebaikan maupun kejahatan semua akan mendapatkan balasan, perilaku kebaikan atau kejahatan tidak dapat mengelabui yang di Atas.

Seseorang yang melakukan kejahatan, dilihat secara permukaan orang tersebut sedang mencelakai orang lain. Tetapi sebenarnya dia sedang mencelakai diri sendiri. Ketika orang tersebut sedang membiarkan semua hasrat ego diri sendiri tidak terkendali, saat itulah dia sedang memusnahkan dirinya sendiri. Manusia acapkali mengeluh pada Tuhan karena tidak memperlakukan dirinya dengan adil ketika menerima balasan buah kejahatan. Sebenarnya manusia tidak memahami bahwa semua balasan buah kejahatan itu adalah karena dirinya sendiri.

Jika ingin sukses di tengah masyarakat, seseorang harus menaruh perhatian pada perilaku moral diri sendiri. Hanya yang memiliki moral dan mentaati perintah-Nya baru akan mendapatkan perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Hanya manusia yang bermoral dan berbudi luhur baru dapat memikul tanggung jawab besar yang diberikan Tuhan kepadanya.

Tidak peduli Anda melakukan hal apapun, syarat utama yang perlu dimiliki untuk mencapai kesuksesan adalah menjadi seseorang yang bajik, bermurah hati, dan bermoral. Segala sesuatu yang berada dalam masyarakat manusia semuanya dikendalikan oleh yang di Atas. Sedangkan yang di Atas tidak melihat seberapa besar kehebatan dan kemampuan Anda, juga tidak melihat setinggi apa cita-cita Anda, Dia hanya melihat seberapa banyak pahala yang Anda miliki.

Segala kebahagiaan dan keberuntungan dalam kehidupan manusia semua terlahir dari pahala seseorang. Melakukan hal baik dapat mendapatkan balasan kebaikan. Sebaliknya jika selalu berpikiran jahat demi keuntungan pribadi serta melakukan tindakan kejahatan, maka pada akhirnya pasti akan mendapatkan balasan kejahatan. (Chun Liu / The Epoch Times / lin)

MENGUBAH PANDANGAN HIDUP

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul “Dalam Perjalanan Hidup Jangan Pernah Menoleh ke Belakang”. Artikel tersebut mengisahkan dua kisah pembuktian artikel tersebut!

Dikisahkan dalam Kitab Suci, Tuhan akan memusnahkan Kota Sodom yang penuh dosa. Namun karena di dalam kota tersebut tinggal keluarga Nabi Luth, maka Tuhan mengutus malaikatnya untuk membawa Nabi Luth dan keluarganya keluar dari kota dengan pesan: “Cepatlah melarikan diri dan jangan sekali-kali menoleh ke belakang!” Tak disangka istri Nabi Luth yang berjalan paling akhir, merasa penasaran dan menoleh ke belakang, maka segera berubah menjadi patung tanah.

Ada seorang dokter yang baik hati akan dijatuhi hukuman mati karena difitnah. Menjelang pelaksanaan eksekusi, dokter tersebut berkata dengan sayu, “Aku tidak menyesali kematianku, namun sangat menyayangkan bila resep obat-obatan hasil risetku tidak dapat diturunkan untuk menolong manusia.”

Mendengar ini, sang algojo tersentuh hatinya dan berkata, “Saya dapat memberi sedikit waktu agar Anda dapat pulang untuk menuliskan resep obat-obatan itu, baru kemudian pergi ke alam baka. Hendak diingat, ketika telah sampai di luar penjara, berlarilah sekuat tenaga, ja-ngan hiraukan orang yang berteriak memanggilmu di belakang, Anda jangan sekali-kali menoleh ke belakang.”

Dokter tersebut berhasil pulang ke rumah, dan dengan bantuan istrinya ia dapat mewujudkan “keinginan menjelang ajalnya”.

Dalam perjalanan hidup manusia, dapatkah seseorang menoleh ke belakang (dengan kata lain mengulang kembali jalan yang telah ditempuh)? Perlukah kita menoleh ke belakang?

Dalam hidup manusia memang sering kali tidak mungkin untuk dapat diulang kembali. Ada yang mengatakan, “Setelah melewati usia setengah abad, manusia seperti pion catur Tiongkok yang melewati sungai, hanya dapat maju terus dengan berani.” Atau mengatakan bahwa hatinya tak tahan mengenang masa lampau, berhasrat kembali namun tubuh sudah renta. Juga mengeluhkan seandainya dulu ia tahu akan demikian, mengapa harus dilakukan, dan lain sebagainya.

Teringat pelajaran bahasa Inggris saat di bangku kuliah, terdapat sebuah artikel yang mengatakan, ”If I were freshman again (seandainya saya seorang mahasiswa baru).” Artinya tak lain adalah dia tidak mungkin lagi memulai kehidupan menjadi mahasiswa baru. Kata-kata di atas seolah membuktikan kebenaran bahwa, dalam perjalanan hidup jangan menoleh ke belakang.

Saya pribadi lebih menyukai perkataan, “Kehidupan manusia seperti ujian multiple choice.” Memilih salah satu jawaban, yang salah akan mendapat nilai minus. Manusia dalam hidup boleh menyesal dan mengerjakan ulang, namun bila salah memilih jalan, tidak dapat menghindari kerugian dalam hal waktu, tenaga, emosi dan lain-lain. Namun asal kita mau balik kembali, acap kali dapat menghindari terulangnya kesalahan sama yang dapat menjerat pada situasi yang tak dapat dipulihkan kembali.

Lagi pula, di dalam perjalanan hidup apabila benar-benar tak dapat menoleh ke belakang, mengapa pepatah zaman dahulu selalu mendorong orang yang melakukan kesalahan agar segera bertobat? Misalnya seperti anak bejat yang bertobat lebih berharga daripada emas; atau samudera penderitaan tidak bertepi, saat menoleh yang terlihat adalah daratan; serta meletakkan golok jagal, segera menjadi Buddha (Sang Sadar). Bukankah perkataan tersebut menjadi tidak berarti?

Saya sangat menyukai kata-kata yang selalu dituliskan salah seorang guru saya pada bagian bawah email, “Belajar apapun jangan merasa terlambat, mengerjakan apapun hendaknya dilakukan sekuat tenaga.” Ketika kita melakukan kesalahan, asalkan mau mengubah dan memulainya lagi serta melakukan dengan segenap tenaga, maka selamanya tidak akan terlalu terlambat.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengisahkan usaha seorang istri di saat menjelang ulang tahun pernikahannya, ia menitipkan anak-anaknya ke rumah orangtuanya, karena ingin merayakan berdua dengan sang suami mengenang kemesraan saat berbulan madu dulu. Segalanya berjalan sesuai rencana, sampai pada saat makan malam, karena sesuatu hal, suasana berubah menjadi kaku. Akhirnya sang istri mengusulkan untuk mengesampingkan hal yang membuat suasana kaku dan mengulanginya dari awal.

Maka sang suami keluar rumah sambil menjinjing tas kantor kemudian mengetuk pintu rumah. Sang istri membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum mesra. Mereka berhati-hati menghindari masalah yang membuat suasana menjadi kaku lagi, sehingga mereka berdua dapat melewati malam yang menyenangkan.

Peribahasa kuda yang baik tidak akan mengulang makan rumput dari ladang yang sama, juga mirip dengan topik ini.

Beberapa waktu yang lalu di Taiwan, baru saja menyelesaikan pemilihan lima daerah. Salah satu calon meninggalkan partainya. Ada orang yang bertanya, “Jika Anda terpilih, akankah kembali ke partai semula?” Calon tersebut dengan cerdik menjawab, “Pepatah mengatakan, kuda baik tidak akan mengulangi makan rumput dari petak ladang yang sama.”

Saat masih muda, saya pernah membaca rubrik konsultasi dalam sebuah media. Ada seorang perempuan yang telah putus hubungan dengan kekasihnya, namun selalu tidak dapat melupakannya. Berulang kali ia ingin kembali ke dalam pelukannya, namun begitu teringat pepatah kuda baik tidak akan memakan rumput dari petak ladang yang telah ditinggalkannya, ia segera meng-urungkan niatnya.

Tanggapan dalam rubrik itu menulis, “Saya hanya mengetahui bahwa kuda yang baik hanya memakan rumput yang baik, tanpa mempedulikan rumput di depan atau di belakang kuda (yang telah ditinggalkannya).”

Tulisan ini mirip dengan yang dikatakan Presiden AS Abraham Lincoln, ketika awal perang antara Utara dan Selatan. Saat itu pihak Utara beberapa kali terpukul mundur, banyak jenderal menegur Presiden Lincoln yang telah memutuskan perang karena membela kebenaran. Mereka berkata, “Sebenarnya kebenaran berpihak pada siapa?” Lincoln dengan santai berkata, “Kita jangan bertanya sebenarnya kebenaran berdiri di pihak siapa, cukup bertanya apakah kita berdiri di pihak kebenaran.”

Saya pernah sangat mengagumi kebijakan dan kemahiran tutur kata tersebut. Namun setelah dikenang kembali, rasanya hal tersebut bukan sekedar kebijakan seseorang, melainkan juga pandangan dan pikiran lurus seseorang.

Teringat sebuah cerita dalam agama Buddha. Ada seorang yang mengikuti seorang Guru Besar untuk menjadi biksu selama bertahun-tahun. Kemudian saat ia pergi berkelana, ia tergoda dunia fana dan telah berbuat banyak sekali dosa besar. Dia kembali kehadapan sang Guru dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya. Setelah mendengar, sang Guru berkata dengan penuh kemarahan, “Kalau ingin Sang Buddha memaafkanmu, tunggulah meja persembahan tumbuh bunga!”

Biksu tersebut melihat Gurunya tidak mau memaafkannya. Karena merasa sudah tak ada harapan lagi, maka dengan lesu ia kembali ke masyarakat manusia biasa melanjutkan berbuat dosa. Tak disangka pada hari kedua sang Guru melihat meja persembahan benar-benar tumbuh bunga!

Cerita ini menunjukkan bahwa Dewa dan Buddha dipenuhi welas asih yang tiada tara. Orang yang telah berbuat jahat asalkan mau menoleh ke belakang (menyesal), maka jalan kembali ke surga selalu terbuka! Saya sangat berharap orang yang salah jalan, cepat-cepat membersihkan kesalahan lampau, menempuh jalan pulang yang benar. Jangan mengikuti pepatah, “Dalam perjalan hidup jangan menoleh ke belakang!” (Huang Jinyuan / The Epoch Times / prm)