Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul “Dalam Perjalanan Hidup Jangan Pernah Menoleh ke Belakang”. Artikel tersebut mengisahkan dua kisah pembuktian artikel tersebut!
Dikisahkan dalam Kitab Suci, Tuhan akan memusnahkan Kota Sodom yang penuh dosa. Namun karena di dalam kota tersebut tinggal keluarga Nabi Luth, maka Tuhan mengutus malaikatnya untuk membawa Nabi Luth dan keluarganya keluar dari kota dengan pesan: “Cepatlah melarikan diri dan jangan sekali-kali menoleh ke belakang!” Tak disangka istri Nabi Luth yang berjalan paling akhir, merasa penasaran dan menoleh ke belakang, maka segera berubah menjadi patung tanah.
Ada seorang dokter yang baik hati akan dijatuhi hukuman mati karena difitnah. Menjelang pelaksanaan eksekusi, dokter tersebut berkata dengan sayu, “Aku tidak menyesali kematianku, namun sangat menyayangkan bila resep obat-obatan hasil risetku tidak dapat diturunkan untuk menolong manusia.”
Mendengar ini, sang algojo tersentuh hatinya dan berkata, “Saya dapat memberi sedikit waktu agar Anda dapat pulang untuk menuliskan resep obat-obatan itu, baru kemudian pergi ke alam baka. Hendak diingat, ketika telah sampai di luar penjara, berlarilah sekuat tenaga, ja-ngan hiraukan orang yang berteriak memanggilmu di belakang, Anda jangan sekali-kali menoleh ke belakang.”
Dokter tersebut berhasil pulang ke rumah, dan dengan bantuan istrinya ia dapat mewujudkan “keinginan menjelang ajalnya”.
Dalam perjalanan hidup manusia, dapatkah seseorang menoleh ke belakang (dengan kata lain mengulang kembali jalan yang telah ditempuh)? Perlukah kita menoleh ke belakang?
Dalam hidup manusia memang sering kali tidak mungkin untuk dapat diulang kembali. Ada yang mengatakan, “Setelah melewati usia setengah abad, manusia seperti pion catur Tiongkok yang melewati sungai, hanya dapat maju terus dengan berani.” Atau mengatakan bahwa hatinya tak tahan mengenang masa lampau, berhasrat kembali namun tubuh sudah renta. Juga mengeluhkan seandainya dulu ia tahu akan demikian, mengapa harus dilakukan, dan lain sebagainya.
Teringat pelajaran bahasa Inggris saat di bangku kuliah, terdapat sebuah artikel yang mengatakan, ”If I were freshman again (seandainya saya seorang mahasiswa baru).” Artinya tak lain adalah dia tidak mungkin lagi memulai kehidupan menjadi mahasiswa baru. Kata-kata di atas seolah membuktikan kebenaran bahwa, dalam perjalanan hidup jangan menoleh ke belakang.
Saya pribadi lebih menyukai perkataan, “Kehidupan manusia seperti ujian multiple choice.” Memilih salah satu jawaban, yang salah akan mendapat nilai minus. Manusia dalam hidup boleh menyesal dan mengerjakan ulang, namun bila salah memilih jalan, tidak dapat menghindari kerugian dalam hal waktu, tenaga, emosi dan lain-lain. Namun asal kita mau balik kembali, acap kali dapat menghindari terulangnya kesalahan sama yang dapat menjerat pada situasi yang tak dapat dipulihkan kembali.
Lagi pula, di dalam perjalanan hidup apabila benar-benar tak dapat menoleh ke belakang, mengapa pepatah zaman dahulu selalu mendorong orang yang melakukan kesalahan agar segera bertobat? Misalnya seperti anak bejat yang bertobat lebih berharga daripada emas; atau samudera penderitaan tidak bertepi, saat menoleh yang terlihat adalah daratan; serta meletakkan golok jagal, segera menjadi Buddha (Sang Sadar). Bukankah perkataan tersebut menjadi tidak berarti?
Saya sangat menyukai kata-kata yang selalu dituliskan salah seorang guru saya pada bagian bawah email, “Belajar apapun jangan merasa terlambat, mengerjakan apapun hendaknya dilakukan sekuat tenaga.” Ketika kita melakukan kesalahan, asalkan mau mengubah dan memulainya lagi serta melakukan dengan segenap tenaga, maka selamanya tidak akan terlalu terlambat.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengisahkan usaha seorang istri di saat menjelang ulang tahun pernikahannya, ia menitipkan anak-anaknya ke rumah orangtuanya, karena ingin merayakan berdua dengan sang suami mengenang kemesraan saat berbulan madu dulu. Segalanya berjalan sesuai rencana, sampai pada saat makan malam, karena sesuatu hal, suasana berubah menjadi kaku. Akhirnya sang istri mengusulkan untuk mengesampingkan hal yang membuat suasana kaku dan mengulanginya dari awal.
Maka sang suami keluar rumah sambil menjinjing tas kantor kemudian mengetuk pintu rumah. Sang istri membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum mesra. Mereka berhati-hati menghindari masalah yang membuat suasana menjadi kaku lagi, sehingga mereka berdua dapat melewati malam yang menyenangkan.
Peribahasa kuda yang baik tidak akan mengulang makan rumput dari ladang yang sama, juga mirip dengan topik ini.
Beberapa waktu yang lalu di Taiwan, baru saja menyelesaikan pemilihan lima daerah. Salah satu calon meninggalkan partainya. Ada orang yang bertanya, “Jika Anda terpilih, akankah kembali ke partai semula?” Calon tersebut dengan cerdik menjawab, “Pepatah mengatakan, kuda baik tidak akan mengulangi makan rumput dari petak ladang yang sama.”
Saat masih muda, saya pernah membaca rubrik konsultasi dalam sebuah media. Ada seorang perempuan yang telah putus hubungan dengan kekasihnya, namun selalu tidak dapat melupakannya. Berulang kali ia ingin kembali ke dalam pelukannya, namun begitu teringat pepatah kuda baik tidak akan memakan rumput dari petak ladang yang telah ditinggalkannya, ia segera meng-urungkan niatnya.
Tanggapan dalam rubrik itu menulis, “Saya hanya mengetahui bahwa kuda yang baik hanya memakan rumput yang baik, tanpa mempedulikan rumput di depan atau di belakang kuda (yang telah ditinggalkannya).”
Tulisan ini mirip dengan yang dikatakan Presiden AS Abraham Lincoln, ketika awal perang antara Utara dan Selatan. Saat itu pihak Utara beberapa kali terpukul mundur, banyak jenderal menegur Presiden Lincoln yang telah memutuskan perang karena membela kebenaran. Mereka berkata, “Sebenarnya kebenaran berpihak pada siapa?” Lincoln dengan santai berkata, “Kita jangan bertanya sebenarnya kebenaran berdiri di pihak siapa, cukup bertanya apakah kita berdiri di pihak kebenaran.”
Saya pernah sangat mengagumi kebijakan dan kemahiran tutur kata tersebut. Namun setelah dikenang kembali, rasanya hal tersebut bukan sekedar kebijakan seseorang, melainkan juga pandangan dan pikiran lurus seseorang.
Teringat sebuah cerita dalam agama Buddha. Ada seorang yang mengikuti seorang Guru Besar untuk menjadi biksu selama bertahun-tahun. Kemudian saat ia pergi berkelana, ia tergoda dunia fana dan telah berbuat banyak sekali dosa besar. Dia kembali kehadapan sang Guru dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya. Setelah mendengar, sang Guru berkata dengan penuh kemarahan, “Kalau ingin Sang Buddha memaafkanmu, tunggulah meja persembahan tumbuh bunga!”
Biksu tersebut melihat Gurunya tidak mau memaafkannya. Karena merasa sudah tak ada harapan lagi, maka dengan lesu ia kembali ke masyarakat manusia biasa melanjutkan berbuat dosa. Tak disangka pada hari kedua sang Guru melihat meja persembahan benar-benar tumbuh bunga!
Cerita ini menunjukkan bahwa Dewa dan Buddha dipenuhi welas asih yang tiada tara. Orang yang telah berbuat jahat asalkan mau menoleh ke belakang (menyesal), maka jalan kembali ke surga selalu terbuka! Saya sangat berharap orang yang salah jalan, cepat-cepat membersihkan kesalahan lampau, menempuh jalan pulang yang benar. Jangan mengikuti pepatah, “Dalam perjalan hidup jangan menoleh ke belakang!” (Huang Jinyuan / The Epoch Times / prm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar