欢迎..............欢迎..............欢迎


Rabu, 18 Mei 2011

PERNIKAHAN


Ada seorang teman, suaminya seorang warga negara Taiwan, sedangkan dia sendiri berasal dari suatu provinsi di daratan Tiongkok. Setelah menikah, dalam kurun waktu yang cukup panjang, suami isteri itu sering kali bertengkar. Mulai dari makanan dan hobi, kebiasaan dalam rumah, memilih tempat tinggal, hingga bagaimana melewati hari-hari libur. Setelah mereka mempunyai anak, pertengkaran mereka semakin parah.

Tapi beberapa tahun belakangan ini, dia sering kali berkata kepada saya, bahwa dia berangsur-angsur sudah bisa mengimbangi suami dan anaknya, serta bagaimana bersikap terhadap sanak keluarga dari pihak suami. Ada hal-hal tertentu sang suami yang mengambil keputusan, dan dia mematuhi keputusan ini. Ada pula beberapa hal suaminya tahu dia pasti akan mempertahankan pendapat, maka suaminya akan membiarkannya mengambil keputusan itu sendiri.

Sebelum pertengkaran terjadi, keduanya dapat menahan diri dengan menghentikan topik pembicaraan. Demi menjaga keutuhan keluarga, dia belajar memasak, yang akhirnya jatuh cinta dengan ketrampilan itu.

Sebagai teman karibnya selama sepuluh tahun lebih, saya melihatnya dari sosok perempuan yang bertabiat keras dan hidup santai, berangsur-angsur berubah menjadi istri yang baik, tahu bagaimana membawa diri dan mengurus segala hal dalam rumah tangga. Pernikahan itu telah membuatnya matang dan bertanggung jawab. Membuatnya memahami bagaimana mundur selangkah langit luas tiada batasnya, serta lebih banyak memikirkan orang lain.

Anak adalah faktor yang lain. Beberapa tahun setelah dia melahirkan, saya melihat dia menjadi lebih ramah, dari dirinya terpancar kasih sayang seorang ibu, seluruh muridnya juga mengatakan dia telah berubah. Dulu ketika ada jawaban murid yang kurang tepat, dia akan menegurnya dengan kasar. Ketika pekerjaan rumah muridnya kurang bagus, dia akan memarahi sang murid. Kini dia berpandangan para murid merupakan harapan keluarga, jadi seyogyanya kita harus mendidiknya dengan kasih sayang.

Beberapa tahun lalu, ada seorang murid yang bertanya kepada saya, haruskah dia menikah? Dia mengaku sebenarnya tergolong orang yang tidak ingin berkeluarga, tetapi dia melihat kehidupan keluarga saya, dia merasa sedikit kagum, maka hal pernikahan dia pertimbangkan kembali.

Saya berkata kepadanya, orang yang telah menikah akan menyesal, namun orang yang tidak menikah pun juga akan menyesal. Karena setelah menikah terus memikirkan kebebasan ketika masih bujang. Orang yang belum menikah, selalu merasa berkeluarga baru bisa senang dan bahagia, jadi keduanya sama-sama akan menyesal. Saya hanya ingin dia berpikir kembali, jika memang ingin menikah, apakah dia ingin menghayati kehidupan yang lain, rela menerima cobaan yang lain.

Setelah menikah, dia kembali menemui saya. Dia mengaku dirinya telah mengerti mengapa saya mengatakan bahwa pernikahan itu semacam kultivasi. Dia dilahirkan dalam keluarga menengah. Sejak kecil sang ibu selalu menyiapkan segala sesuatunya, waktu kecil tidak pernah melakukan pekerjaan dapur, juga jarang sekali mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebelum menikah, dia bebas menjadi seorang bujang. Kadang kala pulang rumah menemani ayah dan ibu, jarang sekali mengalami hal-hal yang tidak berkenan di hati. Setelah menikah, karena suaminya sangat sibuk, semua pekerjaan rumah dipikulnya sendiri.

Yang menjadi tantangan baginya, sang mertua seringkali bermalam selama beberapa hari di rumahnya.Sehingga harus menyediakan makanan tiga kali sehari, terlebih lagi mereka sangat memperhatikan cita rasa makanan. Sebelum menikah, pulang bekerja adalah waktu milik sendiri. Setelah menikah, waktu pulang bekerja terbagi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, menemani suami, menjaga anak, dan akhirnya waktu yang tersisa sedikit itu barulah untuk pribadi. Dia telah merasakan kesengsaraan ini selama beberapa waktu lamanya, dan sering kali bertanya pada diri sendiri, mengapa harus menikah.

Menurut Anda, apa itu pernikahan? Apakah seperti kisah pangeran dan putri raja yang senantiasa melewati hari-hari bahagia? Tentu bukan demikian. Perkataan yang lebih mendekati kenyataan, seharusnya adalah, sejak saat itu sepasang pengantin tersebut memasuki tahapan percobaan hidup yang lain.

Bahagia tidaknya suatu pernikahan, indah atau tidak, langgeng tidaknya, semua itu tergantung bagaimana kita menyikapi pernikahan. Satu hal yang pasti, membutuhkan toleransi tinggi dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain! (Yang Ren Shou / The Epoch Times / lin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar