欢迎..............欢迎..............欢迎


Rabu, 18 Mei 2011

KETERIKATAN DAN KEBEBASAN


Saya pernah mendengar seorang rektor menceritakan sebuah kisah: Ada seorang nenek tua, yang hampir menemui ajalnya. Seluruh anggota keluarganya juga tahu bahwa ia sudah tidak ada harapan lagi, maka mereka mengundang pendeta Buddha untuk mendoakannya, agar bisa berpulang dengan tenang dan ikhlas. Tetapi setelah didatangkan tiga pendeta berturut-turut melakukan berbagai ritual, tetap saja tidak bisa membuat nenek tua itu berpulang.

Akhirnya, salah satu putri nenek itu yang baru saja tiba dari luar kota, berkata kepada ibunya, “Ibu, apakah rice cooker yang dulu Ibu beli itu masih disimpan?” Putri itu melihat di sudut mata ibunya mengeluarkan air mata. Ia lalu melanjutkan, “Harap Ibu bisa merelakannya, saya tahu rice cooker itu diletakkan dimana, saya akan meminta kakak agar menggunakan rice cooker itu.”

Begitu putrinya selesai berbicara, nenek tua tersebut segera menghembuskan napas terakhirnya. Di kemudian hari, anak dan cucu-cucunya menjadikan hal tersebut sebagai gurauan bahwa tiga pendeta Buddha tidak mampu melawan sebuah rice cooker.

Awal era 80-an rice cooker di daerah kami sangat populer. Nenek tua itu hidup berhemat dengan susah payah untuk membeli sebuah rice cooker. Namun setelah dibeli, ia merasa sayang menggunakannya, sehingga akhirnya disimpan di tempat rahasia. Saat akan menghembuskan napas terakhir, ia teringat belum menyerahkan rice cooker itu sehingga menyebabkan ia tidak rela pergi. Maka tidak peduli bagaimana pendeta Buddha itu mendoakannya, tetap saja tidak bisa melepaskan keterikatan nenek tua itu.

Dalam kurun waktu setengah tahun ini, ada dua orang teman saya melakukan bunuh diri. membuat para kerabat terperanjat. Salah seorang teman itu, profesor di sebuah universitas. Sebenarnya dia memiliki keluarga yang bahagia, penghasilannya juga tinggi, dan sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Selain itu, tiap tahun ia mendapat bantuan finansial dari lembaga riset negara.

Studi yang diambilnya bidang psikologi anak, dari sini bisa diketahui bahwa dia seorang yang penuh belas kasih dan perhatian, selain itu dalam segala bidang dia sangat menonjol. Yang tak habis pikir, demi mempertahankan reputasinya, dia nekat melakukan gantung diri di ruang risetnya, membuat orang-orang sangat tidak memahami keputusannya.

Sejak kecil, saya telah menjadi anak yatim, dan Ibu tidak mempunyai sumber penghasilan tetap, sehingga banyak menumpuk hutang. Saat berusia 45 tahun, saya baru bisa melunasi semua uang pinjaman itu. Namun sayangnya, setelah mempunyai sedikit simpanan, saya tergila-gila pada benda seni. Saat mata terbuka, langsung berburu benda seni apa saja yang patut dikoleksi. Lambat laun rumah saya penuh sesak, sehingga berjalan pun tidak leluasa, membuat istri dan anak-anak mengeluh.

Seorang murid saya bahkan memberikan nasihat, “Terbenam dalam hobi akan melemahkan tekad untuk maju, jangan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga ini.” Tetapi nasihat baik itu seringkali tidak enak didengar, saat keterikatan sudah menguasai hati, mana bisa mendengarkan nasihat baik itu? Keterikatan hati membuat saya kehilangan arah kehidupan.

Uniknya, keterikatan ini juga bisa membuat hewan kehilangan arah hidup. Ada seorang psikolog mengadakan sebuah eksperimen dengan memelihara sekelompok tikus putih dalam laboratoriumnya. Sejak awal masa pertumbuhan, tikus-tikus itu tidak dibiarkan makan kenyang. Ketika tikus tersebut tumbuh dewasa, peneliti ini menanamkan sebuah chip dalam otak mereka, kemudian dialiri listrik untuk diamati reaksinya.

Seperti praduga sebelumnya, kelompok tikus tersebut berusaha keras mencari simpanan makanan yang ada di dalam ruangan itu. Usaha keras tikus-tikus itu tidak berhubungan dengan sakit kepala akibat sengatan listrik. Pengalaman kelaparan selama masa pertumbuhan, membuat sekelompok tikus tersebut timbul keterikatan terhadap makanan, dan keterikatan tersebut justru membuat mereka kehilangan arah untuk berusaha.

Jika demikian, maka keterikatan itu bisa membuat orang ingin mati tidak bisa, ingin hidup pun tidak bisa, kehilangan tujuan, kehilangan kebebasan dalam keseluruhan hidupnya.

Ada orang yang mengatakan, “Semasa hidup terikat oleh pakaian, setelah mati terkurung dalam peti mati, betapa tidak bebasnya kehidupan ini?” Seorang biksu masih harus memangkas habis tiga ribu rambut kerisauan, mencari kebebasan jiwa. Sebenarnya keterikatan semacam ini adalah batasan dalam bentuk fisik, sedang yang benar-benar membuat kita tidak bisa datang dan pergi leluasa, hidup bebas dan nyaman itu, adalah berbagai macam keterikatan di hati.

Dilihat dari arti kata dalam bahasa Tionghoa, kata keterikatan atau Zhi Zhuo (執著) bermakna, Zhi (執) itu berarti arah atau tujuan yang berusaha untuk dikejar, Zhuo (著) itu artinya tetap. Jika digabungkan kata-kata ini berarti keterikatan manusia yang terlalu peduli terhadap nama, keuntungan, perasaan (Qing) dan kehidupan ini, sehingga terbelenggu dan terikat. Ambil sebuah contoh, tuntutan anak muda terhadap percintaan, acapkali bisa menimbulkan keterikatan. Tidak akan menikah kalau bukan dia, tidak akan dinikahi jika bukan dia. Kalau demikian halnya, maka ia akan kehilangan kebebasan untuk memilih pasangan hidup.

Dilihat dari sudut pandang lain, keterikatan itu mungkin juga sebuah produk untuk “meninggalkan kebebasan”. Erich Fromm, ahli psikologi dari Barat, buku pertama yang membuatnya terkenal berjudul Escape from Freedom (Meninggalkan Kebebasan).

Pada awal saya membaca buku tersebut merasa takjub. Pepatah mengatakan, “Walau ketulusan dalam cinta itu sangat berharga, tetapi nilai nyawa itu lebih tinggi, jika hanya demi kebebasan saja, maka kedua-duanya boleh dicampakkan!”

Pada umumnya manusia menilai kebebasan itu sangat berharga, lalu mengapa Erich Fromm menulis buku tersebut? Setelah saya baca dengan saksama baru mengerti. Ternyata kebebasan itu bagi orang yang kejiwaannya kurang matang, adalah sebuah beban yang teramat berat, meninggalkan kebebasan berarti menghindari beban yang menyengsarakan.

Saya ambil sebuah contoh yang sederhana. Saya tergolong orang yang sangat tidak mementingkan cara berpakaian, maka dua buah kemeja berlengan pendek, dua buah celana dan sepasang sepatu sudah cukup untuk melewatkan selama satu musim panas. Tidak peduli dalam pesta pernikahan, pertemuan, kantor atau berekreasi, selamanya mengenakan setelan pakaian yang sama. Saya merasa dengan demikian sangat leluasa, keluar rumah tidak perlu ribut memilih pakaian!

Dilihat dari permukaan, sebenarnya adalah demikian, namun sesungguhnya di dalam hati masih ada kepedihan yang tidak bisa diutarakan. Ketika berjalan-jalan seorang diri di pertokoan, melihat beraneka ragam pakaian di estalase, sangat sulit buat saya untuk memutuskan baju mana yang harus saya beli! Takut terlalu vulgar atau tidak cocok dengan setelannya. Maka itu setiap kali pergi belanja, selalu mengajak sanak keluarga, untuk memilihkan baju buat saya. Akhirnya saya meninggalkan kebebasan untuk memilih pakaian.

Menurut yang dikatakan Erich Fromm, masyarakat umum dapat meninggalkan kebebasan dengan cara “meyakini suatu paham, menurut terhadap pemimpin, bernaung di dalam partai”. Ambil contoh pada masa PD II, rakyat Jerman sangat memercayai Hitler sebagai pimpinan yang bijaksana, maka tidak perlu menganalisa pemikiran dan keputusan yang diambil Hitler lebih lanjut, dengan kejam dan brutal membunuh 6 juta orang Yahudi.

Tentunya seorang tentara ketika berhadapan dengan musuh, harus menghadapi pertempuran hidup atau mati, tidak ada kebebasan untuk memilih. Tetapi terhadap rakyat jelata yang tidak bersenjata, tentara mutlak mempunyai kebebasan untuk memutuskan hidup dan matinya para korban. Namun sungguh disayangkan, banyak orang menggunakan aturan “patuh pada perintah adalah kewajiban seorang tentara” sebagai alasan, tidak mempedulikan jeritan pedih dari orang-orang yang tidak berdosa, melakukan invasi militer dan melakukan pembantaian berdarah selama delapan tahun lamanya. Kata “patuh” telah berubah menjadi semacam bentuk keterikatan yang lain.

Kesimpulannya, keterikatan menyebabkan manusia kehilangan arah, kehilangan kebebasan. Di sisi lain, kurangnya taraf kecakapan manusia, juga bisa menyebabkan manusia meninggalkan kebebasan. Maka jika seseorang ingin memiliki kebebasan yang paling maksimal, hanya bisa dengan cara berusaha keras menyingkirkan keterikatan terhadap nama, keuntungan dan perasaan (Qing). Disamping itu berusaha keras memupuk taraf kecakapan kemanusia, sehingga tidak perlu lagi meninggalkan kebebasan. (Huang Jinyuan / The Epoch Times / lin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar