this blog for u and for my students......... i hope u can know anything about chinese culture
欢迎..............欢迎..............欢迎
Rabu, 18 Mei 2011
ADAT BURUK ORANG TIONGHOA DARI MANA ASALNYA?
Sejak Shanghai World Expo dibuka, kebiasaan buruk orang China seperti meludah di sembarang tempat, buang air besar tidak disiram, buang sampah sembarangan, berbaring di sembarang tempat, berteriak-teriak sesuka hati, bahkan anak-anak buang air kecil dan besar di sembarang tempat dan berbagai kelakuan tak beradab lainnya, sekali lagi membuat dunia terbelalak, bersamaan dengan keterkejutan dan rasa muak orang luar negeri, tak sedikit orang China merasa malu tak terkira.
Tentu saja, tindakan tidak beradab semacam itu, bukan hanya muncul di World Expo saja, itu terjadi pada orang China yang keluar negeri dan dalam kehidupan sehari-hari, boleh dibilang bisa ditemui dimana saja. Yang membuat orang tak habis pikir, banyak orang China tidak merasa risih dengan adat buruk tersebut.
Untuk hal itu, tidak sedikit esai yang berusaha menganalisis penyebabnya. Ada orang bahkan mencari sumbernya dari dalam kebudayaan tradisional China sendiri dan menyebutnya sebagai kebiasaan buruk yang ditinggalkan leluhur mereka. Lantaran orang kuno “ketinggalan zaman dan kehidupan yang terbelakang”, maka tentu saja lantas tidak memperhatikan kesehatan, tidak memperhatikan peradaban dan adat buruk yang telah berlangsung beberapa ribu tahun itu, tentu saja mutlak tidak bisa diubah dalam waktu singkat.
Orang yang mempunyai sudut pandang seperti itu boleh dibilang salah besar. Pada kenyataannya, meski dikatakan di zaman China kuno mereka tidak memiliki peralatan canggih seperti pesawat terbang, mobil, telepon, TV dan lain-lain, tetapi itu tidak lantas berarti bahwa kualitas kehidupan masyarakat China kuno lebih rendah daripada manusia zaman sekarang.
Realitanya, jalan yang ditempuh iptek zaman China kuno adalah sebuah jalan perkembangan yang berbeda, dan toh telah mencapai taraf kemajuan yang susah diimajinasikan manusia zaman sekarang; sedangkan peradaban orang zaman kuno bukan hanya diwujudkan di dalam etiket sehari-hari, bahkan diwujudkan dengan perhatian terhadap detil kehidupan hingga mempelajari dengan seksama tentang kesehatan.
Ratusan tahun lalu, para bangsawan Eropa saat makan masih meletakkan hewan atau unggas utuh di atas meja makan, dan ramai-ramai disantap dengan secara primitif. Saat itu juga orang Eropa ketika menonton opera meludah dengan sembarangan di dalam gedung. Banyak juga orang Eropa yang seumur hidup mereka tidak pernah mandi (di negara 4 musim hal semacam itu memungkinkan, karena tubuh tidak mudah berkeringat). Sementara itu di China dimana peradaban sudah berkembang maju dan pada posisi memimpin, situasinya sama sekali berbeda. Kondisi seperti itu pernah dikagumi dan dipuji orang-orang dari berbagai suku bangsa.
Jauh sebelumnya, yakni 2.000 tahun lalu, masa pemerintahan Qin (baca: Jin), orang China kuno sudah mulai memperhatikan kesehatan pribadi. Banyak yang menganjurkan “membersihkan rambut setiap tiga hari sekali dan mandi setiap lima hari sekali”. Terkadang mandi (cara mandi masyarakat di negara 4 musim, dengan berendam dalam bak) bahkan merupakan semacam ritual yang sangat penting, untuk mewujudkan niatan respek.
Misalnya, sebelum Kaisar memberikan persembahan kepada Langit diharuskan mandi terlebih dahulu. Pernah pada zaman Dinasti Han (206 SM – 220 Masehi) ditetapkan para pejabat sesudah bekerja 5 hari berturut-turut, hari berikutnya boleh libur satu hari untuk mandi. Disebut “istirahat mandi”. Kaisar Liang Jian Wen – Xiao Wang dari Dinasti Nan Chao (502-557 M) yang menyukai kebersihan juga menulis kitab “Serba Serbi Mandi”.
Kamar mandi paling awal tentu saja hanya dimiliki keluarga kaisar, minimal sudah eksis sejak didirikan Dinasti Zhou (abad 11 – 256 SM). Sekitar zaman Han, kamar mandi umum sudah bermunculan di kompleks vihara, misalnya bekas kamar mandi pernah digali di situs kuil aliran Buddha-Fu Feng di Provinsi Shanxi zaman Han Timur (25 - 220 M). Menurut catatan Dinasti Song, waktu itu area “sarana kamar mandi umum” itu merupakan satu dari 24 sarana yang terdapat di dalam kompleks tersebut. Dapat menampung ribuan orang mandi dalam satu hari. Selain itu menurut kitab “Catatan Asrama Bhiksu Kota Luo Yang” dari Yang Xuan, di dalam Kuil Bao Guang juga terdapat kamar mandi umum super besar.
Pada zaman Song (960 - 1279 M) kamar mandi dengan bak besar untuk kalangan rakyat jelata juga muncul dan terus berlangsung hingga kini. Hong Mai dari zaman Song menulis di “Yi Jian Zhi”, pada umumnya orang membangun rumah pasti terdapat ruang untuk mandi. Tatkala Marco Polo datang ke China pada zaman Yuan (1206 - 1368 M), ia sampai takjub, “Orang China setiap hari mandi!”
Padahal zaman itu, ini mustahil terjadi di Eropa. Selain mandi setiap hari, di kitab “Xi Jin Zhi” dari zaman Yuan juga tercatat: Di keluarga terpandang, sebelum putri dinikahkan, harus dimasukkan dulu ke dalam kamar mandi untuk dibersihkan dengan tuntas. Boleh dibilang aktivitas mandi kala itu sudah menyatu dengan acara ritual pernikahan.
Orang zaman kuno yang memperhatikan kebersihan, tentu saja juga sangat peduli dengan penampilan diri sendiri. Orang kuno dalam perawatan tubuh seperti mandi lulur, membasuh muka, menyeka tubuh, masing-masing menggunakan bahan berlainan dan sangat rumit. Krim mutiara, bedak, pemerah muka, minyak Osmanthus, lilin rambut, kantong aroma dan lain-lain, merupakan bahan kebutuhan sehari-hari. Lebih-lebih dalam hal perawatan rambut kemilau juga sangat diperhatikan.
Aksara 若 (Ruo, bermakna penurut), di dalam aksara Jia Gu (aksara kuno prasejarah yang ditulis di atas cangkang kura-kura maupun tulang), berbentuk menyerupai seorang gadis seusai mencuci kepala sedang menyisir rambutnya. Mereka biasanya sesudah menyisir rambut dengan rapi, masih diperlukan menggelung dan menyanggulnya, lalu menancapkan jepit sanggul yang terbuat dari tulang halus maupun batu Giok agar terkunci rapat. Di luar sanggul masih dibungkus lagi dengan kain sutra, kemudian mengenakan mahkota, sangat peduli sekali. Seseorang dengan penampilan rambut acak-acakan, waktu itu hanya bisa dinilai orang tersebut mengidap penyakit jiwa atau mengalami stres karena mengalami musibah hebat.
Mengenai kesehatan mulut, orang zaman China kuno juga sangat peduli. Jauh pada tahun 3.000 SM, tercatat mengenai kebersihan rongga mulut dan pemeliharaan gigi. Orang itu biasanya menggunakan arak, cuka, air garam, teh dan air hangat untuk kumur atau dengan metoda menggosok gigi menggunakan garam hijau untuk perawatan higienis mulut. Kemudian juga belajar dari para biksu suatu kebiasaan mengunyah ranting pohon Willow guna pembersihan mulut, yakni mengandalkan mengunyah semacam ranting yang dinamakan Kayu Gigi untuk menggosok permukaan gigi, sekaligus menggunakannya untuk menggosok lidah dengan tujuan membersihkan bakteri.
Dari kitab sejarah juga tercatat, pada saat Dinasti Liang Selatan pada abad-6, ada sebuah benda dinamakan “Saput hitam untuk mulut/gigi” guna menambah putih dan meninggalkan aroma wangi bagi gigi. Pada masa Dinasti Tang (618 - 907 M) dan Song, beredar “pasta gigi” yang mengandung ramuan herbal, seperti di dalam kitab “Tai Ping Sheng Hui Fang” zaman Song yang mencatat secara rinci mengenai pasta dan metode pengobatan gigi.
Atensi orang zaman kuno terhadap higienis, dimulai sejak pendidikan anak. Misalnya di dalam buku karya terkenal dari kalangan sekolah khusus “Peraturan Siswa” tercatat: “Pagi membasuh sembari kumur, lantas buang air kecil dan besar, selalu bersihkan tangan. Topi mahkota harus rapi, simpulkan kancing, kaos kaki dan sepatu komplit.” Sejak dini anak sudah dibiasakan hidup higienis dan memahami etiket, setelah beranjak dewasa bisakah ia menjadi seorang yang tidak beradab?
Kebiasaan orang kuno membuang sampah sehari-hari dengan sembarangan malah sangat langka. Pada 3.000 – 4.000 tahun lalu, orang zaman kuno sudah mengerti mengumpulkan sampah secara terpusat dan menggunakan lubang alami ataupun galian untuk menjejalinya dengan sampah. Mereka juga mengetahui cara tercepat menuntaskan sampah dengan membakarnya langsung, yang tak habis terbakar lantas diurug.
Pada periode Negara Berperang (Zhan Guo, 770 SM – 256 SM), terhadap orang yang sembarangan menumpahkan sampah bisa dihukum berat dengan pemotongan tangan. Selain itu pabrik pembuatan tahu, arak dan lain-lain, diwajibkan membenahi saluran pembuangan, jika tidak akan dilecehkan masyarakat. Perbengkelan seperti perusaahaan pencelupan dengan polusi berat harus membuat saluran pembuangan. Orang kuno malah memperhatikan penangkalannya.
Seperti yang terjadi di Gunung Hu Qiu, Kota Su Zhou, di dalam dinding sebelah dalamnya terdapat sebuah batu monumen dengan grafir ukiran “prasasti pencelupan Hu Qiu yang dilarang beroperasi selamanya”. Orang lokal menyebutnya “prasasti pelarangan pencelupan”, dikarenakan pada Dinasti Qing (baca: Jing, 1616 - 1911), bengkel pencelupan di sekitar daerah tersebut terlalu banyak sehingga pemilik tidak memperhatikan lingkungan, dengan seenaknya menggelontorkan limbah ke dalam sungai dan mencemarinya. Itulah sebabnya pemerintah melarang beroperasinya bengkel pencelupan di tempat tersebut.
Selain itu, menyapu, mempertahankan lingkungan yang bersih, juga merupakan pembelajaran yang harus dilakukan orang zaman kuno. Mereka juga mempunyai kebiasaan membersihkan rumah. Dalam kitab Zhou Shu: “Kunci Pembangunan Rumah Tinggal” tercatat: Orang kuno sering kali menghendaki “saluran lancar, rumah kediaman bersih, tidak ada bau pengap, tidak menimbulkan wabah”. Hingga kini masih banyak hari besar yang mempertahankan adat istiadat seperti itu. Di dalam kitab “Pedoman Pengelolaan Rumah ala Zhu Zi” mendidik anak “bangun subuh, bersihkan rumah, harus bersih luar dalam”.
Tentang apakah orang kuno mempunyai kebiasan meludah pada sembarangan tempat, atau pernah terdapat pengumuman yang membatasi warganya meludah di sembarang tempat, termasuk kitab amatir sejarah China semuanya tidak nampak pencatatan semacam itu. Penyebab yang paling penting, mungkin dikarenakan, di bawah naungan kebudayaan tradisional China, orang kuno bertitik tolak dari menegakkan moralitas, selain itu juga mematuhi etiket, di dalam hatinya terdapat akhlak, perkataan dan perbuatannya dengan sendirinya dapat mempertimbangkan apakah pada tempatnya meludah di sembarang tempat, karena hal tersebut termasuk perilaku yang tidak etis, dengan sendiri-nya orang kuno merasa tabu mempermasalahkan kepatutan hal tersebut.
Sebuah penelitian zaman sekarang beranggapan, orang kuno ketika harus meludah, terkadang membuka lengan pakaian (pakaian zaman China kuno memiliki lengan yang lebar dan di sebelah dalamnya terdapat semacam saku) dan meludah ke dalamnya, atau menggunakan sapu tangan, membungkusnya dan dimasukkan di balik pakaian.
Di sejumlah tempat masih dapat dijumpai semacam bokor kecil yang khusus disiapkan untuk tempat orang meludah. Pada zaman Dinasti Tang bahkan terdapat pasal mengenai denda terhadap warga asing yang ketahuan meludah sembarangan, agar memperingatkan kepada mereka tidak diperkenankan di jalan raya dan tempat umum lainnya melakukan tindakan tidak terpuji.
Dari sini bisa dilihat, meludah sembarangan tempat merupakan tindakan tidak beradab, orang kuno sudah mengetahuinya. Maka boleh dibilang, meludah sembarangan, mutlak bukan adat kebiasaan orang Tionghoa, juga mutlak bukan adat buruk peninggalan leluhur yang diwariskan. Tentu saja, orang kuno mempunyai kebiasaan “meludah”, namun kebanyakan saat menghadapi orang dan persoalan tertentu yang menimbulkan kemarahan barulah melakukan hal seperti itu. Menyatakan rasa muak dengan meludah di sembarang tempat adalah dua hal yang berbeda.
Maka, sejak kapan orang Tionghoa berubah menjadi tidak beradab? Berubah sedemikian kasar? Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan penolak-an bahkan pencampakkan kebudayaan tradisionalnya sendiri. Kebudayaan tradisional China berlandaskan tiga ajaran agama yakni: Buddha, Khonghucu dan Taoisme.
“Kemanunggalan antara manusia dan Langit” mewakili sudut pandang alam semesta orang kuno. “Kebijaksanaan dan Iman” dari Khonghucu menjadi spesifikasi dan landasan moral masyarakat. “Kesetiaan, balas budi, pengendalian diri dan keadilan” adalah standar kehidupan manusia di dunia.
Orang Tionghoa yang berendam di dalam kebudayaan yang besar dan mendalam itu tentu saja respek terhadap Langit dan bumi, setia kepada masyarakat, memperhatikan keluarga dan memperhatikan peradaban.
Namun sejak zaman Song, kebudayaan tradisional mulai tak henti-hentinya mengalami pengrusakan dan terjadi pengingkaran terhadap tradisi. Setelah gerakan “4 Mei (Gerakan Pembaharuan yang dimulai 4 Mei 1919)”, sebagian intelektual yang berpandangan jangka pendek dalam rangka mencari jalan keluar bagi China modern, juga dimulai dari pengingkaran kebudayaan tradisional dan merapat ke peradaban Barat. Akan tetapi konflik dan evolusi di ranah kebudayaan senantiasa saling bersaing di wilayah intelektual, artinya tidak melibatkan kekerasan dari pihak negara.
Pada masa Republik China (masa sebelum Komunis berkuasa pada 1949), banyak adat istiadat tradisional yang masih eksis di masyarakat. Bagi banyak orang terutama yang berpendidikan, berbusana rapi, bertutur-kata intelek, tidak meludah di sembarang tempat dan lain-lain masih merupakan sebuah kriteria penting untuk menilai kematangan jiwa seseorang.
Setelah PKC (Partai Komunis China) berkuasa pada 1949, konflik seputar kebudayaan ditingkatkan ke taraf tinggi yang berkaitan dengan eksistensi PKC sendiri. Oleh karena itu mereka melakukan cara merusak langsung dengan meluluh-lantakkan, dan cara pengrusakan tak langsung ala “membuang ampasnya, sedot sarinya”, serta melalui penyalah-gunaan. Demikian kebijakan pemerintahan mereka terhadap kebudayaan.
Terlebih lagi saat Revolusi Kebudayaan (1966 - 1976), telah mendorong penghancuran kebudayaan tradisional ke taraf yang tak bisa diperbaiki lagi. Partai Komunis mengaduk-aduk konsep nurani masyarakat, sehingga mereka menjauhi tradisi bangsa. Demi mengingkari kebudayaan tradisional, mereka memuji hal yang kasar sebagai keindahan dan menggerakkan aksi “Naik Gunung Turun Desa” yakni gerakan mengirim pemuda-pemudi seluruh negeri ke pedesaan terpencil untuk belajar dari kaum buruh - tani yang memang tidak berpendidikan dan berkelakuan kasar.
(INTERNET)
Melalui gerakan bertubi-tubi tersebut, meski kaum intelektual China tidak lagi mematut diri dengan tata krama, tidak mengedepankan peradaban, bahkan tidak lagi menganggap tabu meludah sembarangan, berpakaian kedodoran, berperilaku malas-malasan, dan penuh umpatan kotor. Bahkan ada yang menganggap tindakan dan ucapan yang ngawur, dinilai tidak menghambat situasi secara keseluruhan. Bukankah itu semua berkat hasil kerja PKC?
Nampaknya, pada masa etika moralitas menuju ambang kehancuran ini, orang China jika tidak ingin menunjukkan keudikannya di depan masyarakat dunia, dan jika ingin memulihkan peradaban dan tata susila yang pernah eksis, harus mau mencampakkan PKC yang tak dapat hidup selaras dengan hal tersebut di atas, dan yang berupaya mati-matian merusak kebudayaan tradisional. (The Epoch Times/whs)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar