Saya pernah mendengar cerita dari seorang tua : Ada seseorang yang sangat beruntung, dia mendapatkan sebutir mutiara yang besar dan cantik, tetapi dia sendiri tidak merasa puas, karena diatas mutiara tersebut terdapat sebuah noda hitam kecil.
Dia lalu berpikir jika dia bisa menghilangkan noda hitam kecil ini, maka mutiara ini akan sangat sempurna yang akan menjadi mutiara yang paling cantik dan paling sempurna di dunia ini.
Dia memutuskan menguliti lapisan teratas mutiara tersebut, tetapi noda tersebut tetap ada, lalu dia menguliti lapisan kedua dia berpikir sekali ini pasti noda tersebut akan hilang, tetapi kenyataannya noda tersebut masih ada, lalu dia terus mengkuliti selapis demi selapis, sampai lapisan terakhir, benar saja noda tersebut telah hilang tetapi mutiara tersebut juga ikut hilang.
Akhirnya orang tersebut hatinya sangat sakit dan menyesal, karena sakit hati terakhir dia jatuh sakit dan tidak pernah sembuh lagi, ketika dia akan meninggal dengan menyesal dia berkata kepada keluarganya, “Jika dahulu saya tidak peduli kepada noda kecil tersebut, sampai sekarang saya pasti masih dapat mengelus mutiara yang besar dan cantik tersebut".
Teringat kepada cerita ini, saya masih mempunyai sebuah cerita. Beberapa waktu yang lalu, setiap senja saya mempunyai kebiasaan setiap hari berjalan-jalan ke tepi laut, oleh sebab itu saya sering bertemu dengan sepasang suami istri yang sudah beruban, mereka berdua akan duduk berdampingan dengan tenang disebuah kursi memandang ke laut.
Mereka berdua selalu duduk dengan tenang tanpa berkata sepatah katapun, tetapi di wajah mereka selalu tergantung senyum yang ramah, kelihatan mereka bagaikan sebuah lukisan yang bahagia dan damai.
Pada suatu hari, karena penasaran saya berjalan ke dekat mereka dan bertegur sapa dengan mereka, “Kalian juga suka melihat laut ya?”
Kakek itu memandang ke arah saya sambil menganggukkan kepala sambil tersenyum mengiakan, kemudian dia menunjuk ke nenek disebelahnya, pada saat ini saya menyadari bahwa kakek tersebut adalah seorang yang tunarungu, sedangkan istrinya adalah seorang yang buta.
Pada saat ini saya merasa sangat malu dengan sapaan saya, tetapi di wajah kedua kakek dan nenek ini tidak ada sedikitpun rasa tidak gembira, sebaliknya, dia dengan nada lembut dan jujur berkata kepada saya, “Benar, kami berdua sering datang ketempat ini 'melihat' laut. Engkau tentu merasa heran, sebenarnya jika di hati nurani kami tidak ada merasa cacat, kami berdua tetap menjadi orang yang normal. “
Mungkin, sejak saat itu, dari sepasang kakek nenek cacat yang ramah ini saya menyadari apa yang menjadi tolak ukur kebahagiaan. Kebahagiaan sejati, sebenarnya bukan kita menempuh marabahaya untuk menyelamatkan belahan hati kita, jangan dengan sengaja mencari noda atau kekurangan pihak lain lalu berusaha dengan segenap cara menghilangkan noda tersebut, tetapi kita akan berusaha menggenggam dengan baik mutiara yang berada ditangan kita, belajar memahami, menerima kekurangan masing-masing, dengan demikian akan mendapatkan kebahagian yang sejati. (Erabaru/hui)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar