欢迎..............欢迎..............欢迎


Selasa, 03 Agustus 2010

Membimbing Anak Bersyukur dan Menyayangi Berkah


Jika membangun sebuah rumah diumpamakan sebagai pendidikan dalam keluarga, kasih sayang dari ayah dan ibu adalah landasan dasarnya, isi dari pendidikan rumah tangga itu sebagai rumah itu sendiri. Landasan kasih itu harus murni kokoh dan stabil, maka rumah itu baru bisa kuat.

Banyak sekali orang tua walaupun mereka sangat menyayangi anak-anak mereka, tetapi telah mengabaikan bahwa kasih sayang memiliki tanggung jawab, mengasihi anak juga harus memberi bimbingan kepada mereka untuk bertanggung jawab, mengerti tata karma serta pengorbanan.

Perkembangan kehidupan juga membutuhkan norma-norma dan kasih yang diperagakan, baru bisa mendapatkan nutrisi yang benar-benar memberi gizi kepada kehidupan, baru bisa tumbuh dengan kokoh dan kekar.

Tujuan dari pendidikan kehidupan adalah membimbing kita berpikir panjang tentang makna dan nilai hidup diri sendiri yang khas, dimulai dari memastikan dan mencintai diri sendiri, selanjutnya mencintai orang lain, mencintai lingkungan, lalu mencintai alam. Cinta, juga perlu dipelajari, ketika kita masih kecil di dalam kebutuhan untuk dicintai serta diperhatikan kita belajar bagaimana mencintai, bersyukur dan menyayangi.

Sekarang saya mengutarakan beberapa point pengalaman perseorangan dalam mendidik anak, untuk saling mendorong dan saling mengingatkan bersama-sama dengan pembaca.

Pertama-tama, memberi teladan lebih penting dari pada ajaran, dan memberikan pengalaman yang pernah dialami kepada anak, sungguh amat penting sekali. Lebih-lebih disaat anak masih dibawah umur sekolah yang kemampuan menirukan dan pembentukkannya sangat kuat, kita orang dewasa bagaimana menyampaikan rasa kasih sayang dan bersyukur, bagaimana anak kita akan bisa bersikap baik terhadap orang lain serta dalam melakukan segala hal. Selain itu dibutuhkan ketulusan hati dalam mendampingi dan saling berbagi.

Dibawah ini saya utarakan contoh diri saya sendiri, saling mengisi dengan anak, untuk berbagi bersama dengan pembaca.

Anak sulung saya ketika di TK A hendak memasuki TK B, sepatu olah raga yang dia pilih sendiri berlubang kecil. Kemudian saya bertanya kepadanya apakah sepatu itu ingin dibuang dan diganti dengan yang baru. Serta menjelaskan jika sekarang dibuang dan diganti dengan yang baru maka harus mengeluarkan uang untuk membeli yang baru, jikalau masih bisa digunakan, maka uang yang harus dikeluarkan juga akan lebih lama baru dibutuhkan. Lalu menanyakan apakah dia masih menyukai sepasang sepatu itu.

Dia menjawab sangat menyukai sepatu itu, dan akan menunggu sebelah yang lain rusak baru akan diganti.

Saya bertanya kepadanya, “Tetapi apakah teman-temanmu tidak akan menertawai sepatumu yang rusak, jika begitu lalu bagaimana?”

Dia berkata tidak ada masalah, lalu menirukan perkataan saya bersiap-siap menjawab pertanyaan dari teman sekolahnya, dan sekali lagi menegaskan bahwa dia sangat menyukai sepasang sepatu ini.

Keesokan harinya, benar-benar ada seorang teman karibnya yang sangat memperhatikan dirinya bertanya, “Hei lihat, sepatumu telah rusak.”(percayalah kepada anak kecil, mereka menaruh perhatian dengan tulus dan polos, sama sekali tidak bermaksud mengejek, takut ditertawakan orang merupakan kekhawatiran dari orang dewasa, teman kecil itu sama sekali bukan menertawakan melainkan hanya menaruh perhatian, hanya mengingatkan saja).

Lewat satu bulan kemudian, sepatu itu lubangnya makin besar. Saya berkata, “Sepatu ini sudah dipakai sangat lama sekali, dengan susah payah dan sangat bertanggung jawab dia telah melindungi kakimu, sekarang sudah tidak bisa dipakai lagi, tidakkah kamu merasa harus mengatakan selamat tinggal kepada mereka (sepatu)?

Dia mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sikap yang sangat berhati-hati saya bungkus sepasang sepatu yang rusak itu, anak saya berkata, “Terima kasih sepatu, kamu telah membiarkan saya mengenakanmu untuk sekian lama, selamat tinggal!”

Selain itu, saya paling senang berbaring diatas ranjang bersama dengan kedua anak saya dan giliran saya untuk “memuji kebaikan” dan “Menyatakan rasa bersyukur”. Saya berterima kasih kepada mereka kakak beradik yang sangat perhatian, hemat, memiliki hati yang kasih, menggambar dengan sangat bagus sekali…..

Mereka kemudian akan berebut mengatakan, “Mama sangat rajin, mengajar dengan sungguh-sungguh, pandai bercerita, terima kasih atas makanan yang dihidangkan oleh mama, segala pekerjaan rumah tangga, dan masih mau menemani kami belajar…..”

Ketika anak sulung saya mengatakan bahwa dia sangat rindu dengan neneknya, teringat nenek menimangnya untuk tidur….

Ketika mereka menyapa tetangga dengan sangat ramah dan sopan….

Ketika kakak-kakak misan mereka memberikan pakaian bekas, lalu mengupapkan terima kasih….

Ketika mereka mandi menggunakan samphoo terlalu banyak, dan meminta maaf kepada ikan-ikan yang ada di sungai karena akan membuat ikan-ikan itu terlalu banyak minum busa.

Melihat semua ini saya merasa lega, anak-anak telah memahami sepenuhnya arti bersyukur dan menyayangi berkah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar