欢迎..............欢迎..............欢迎


Rabu, 08 Juni 2011

BATU KARANG LEGENDARIS DISINARI MATAHARI SETIAP 60 TAHUN


(Epochtimes.co.id)

Batu besar yang dikenal sebagai “batu untuk mengeringkan tulisan suci di bawah sinar matahari” itu terletak di lembah di belakang kuil Fahua, di kota Anning, provinsi barat daya Yunnan, Tiongkok.

Karakter kuno tampak terukir pada permukaannya, tetapi hal yang paling luar biasa tentang batu ini adalah bahwa matahari dikatakan bersinar di atasnya hanya sekali setiap 60 tahun.

Legenda mengatakan bahwa ketika itu biarawan Tang Xuanzang (baca dang siencang, 602-664) sedang dalam perjalanan kembali ke Chang’an, ibukota Dinasti Tang, setelah memperoleh kitab suci Buddha dari India. Alkisah dia pernah mengeringkan transkrip sutra Buddha tersebut di atas batu, setelah mereka jatuhkan ke dalam sungai.

Yunnan Information Newspaper melaporkan bahwa batu itu berketinggian lebih dari 12 meter dan memiliki lebar beberapa meter di pangkalan. Pohon-pohon dan rumput tumbuh padat di sekitarnya. Hal yang aneh adalah ketika matahari menjulang tinggi di langit, dan menyinari setiap sudut lembah, batu ini anehnya tidak mendapatkan sinar matahari langsung.

Di sisi depan batu itu, tampak karakter kuno yang terpahat pada permukaan yang datar berukuran sekitar 6-9 kaki. Ada delapan baris karakter, masing-masing memiliki sekitar selusin ukiran karakter. Karakter ini berbentuk keriting terlihat seperti simbol hiroglif atau masa sebelum Dinasti Qin, yang masih digunakan pada segel-segel di masa kini.

Akibat termakan usia, karakter-karakter tersebut telah menjadi sulit untuk dikenali. Selain itu delapan baris karakter besar, ada karakter yang lebih halus, sehingga banyak ukiran yang tidak bisa dibaca.

Mr Cao, seorang sarjana dalam sejarah Tionghoa, budaya, dan geografi, berkata: “Matahari bersinar di atas batu hanya sekali setiap 60 tahun. Ini terjadi setelah matahari terbenam ketika matahari terbit dari balik gunung (pada malam yang sama).”

Mr Cao mengetahui dari orang-orang tua di sebuah desa di dekat batu, bahwa terdapat seorang tukang kayu yang masuk ke dalam gunung untuk mengumpulkan kayu bakar setiap hari. Ketika matahari terbenam, ia melewati batu itu dalam perjalanan pulang sambil membawa dua ikat kayu bakar. Suatu malam, ketika tukang kayu melewati batu itu, dia melihat matahari terbit lagi. Padahal saat itu seharusnya matahari telah terbenam. Ternyata cahaya terang yang ia kira matahari terbit itu berasal dari batu tersebut. Karena terkejut, ia pun menjatuhkan ikatan kayu bakarnya, dan berlari ke desa untuk memberitahu orang-orang.

Cahaya Matahari memenuhi ruangan

Seorang biarawan dari Kuil Fahua mengatakan, “Saat itu sekitar pukul 18:00 pada saat musim semi 2005 (20 Maret 2005). Saya melihat matahari menerangi batu selama sekitar setengah jam.” Ia telah menjadi biarawan di kuil tersebut selama bertahun-tahun, namun saat itu merupakan satu-satunya saat ia melihat sinar matahari di atas batu.

Menurut Archives of Anning Prefecture, “Selama musim hujan, kuil itu selalu terlihat agak remang-remang seperti biasanya. Namun tiba-tiba, sinar matahari memenuhi ruangan. Ukiran dan pahatan Buddha di dinding kuil menjadi tampak sangat hidup. Dan tak berlangsung lama, sinar matahari sudah pergi, dan segala sesuatu menjadi redup kembali.”

Kejadian itu dilaporkan pada 1921. Legenda setempat mengatakan bahwa pada hari setelah perayaan musim semi, sekali setiap 60 tahun, matahari terbit lagi setelah matahari terbenam pada malam yang sama. Sinar matahari terbit mengisi puncak gunung dan lembah, menerangi batu legendaris. Hutan menjadi jelas tampak berwarna-warni, ukiran Buddha memancarkan warna emas, dan ruangan kuil dipenuhi dengan sinar cemerlang berwarna keemasan.

Dalam legenda dikatakan bahwa Xuanzang menjatuhkan transkrip sutra Buddha di Sungai Sha setelah dia bertemu dengan kura-kura raksasa ketika sedang menyeberangi sungai dalam perjalanan kembali ke ibukota Tang dari India. Dia sedapat mungkin menyelamatkan transkrip sutra itu dari dalam air dan mengeringkannya.

Biarawan dan para pengiringnya membuka transkrip sutra di atas batu dan menyalakan api untuk mengeringkannya, tetapi tiba-tiba matahari seolah terbit meskipun ketika itu hari sudah malam. Sinar matahari menerangi langit malam dan batu tersebut, dan mengeringkan transkrip sutra.

Dan ketika para biarawan pengiring itu mengumpulkan kembali transkrip-transkrip yang tercecer, ternyata tulisan-tulisan Sanskerta dari transkrip sutra tadi telah tercetak pada batu tersebut. Oleh karena itulah, batu itu diberi nama “batu untuk mengeringkan transkrip sutra di bawah sinar matahari.” (The Epoch Times / osc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar